Hubungan antara Lekra dan PKI,
adalah hubungan pandangan politik yang sama atau hampir bersamaan, atau
paling tidak, tidak bertentangan satu sama lain. Hubungan itu dari luar
memang tampak erat dan bahkan, bagi sementara orang, Lekra adalah juga
PKI di bidang seni. Tapi, dari dalam, tidak seperti hasil yang
ditunjukkan sebuah mikroskop dari dua belahan satu benda yang sama.
Kalau dikatakan hubungan antara Lekra dan PKI ada hubungan politik yang
antusias, itu sangat bisa dimengerti, karena mereka punya pandangan yang
sama atau hampir bersamaan dalam cita-cita politik maupun orientasi
mereka kepada rakyat pekerja Indonesia. Keantusiasan itu, bahkan, hingga
mencapai super-antusias. Umpamanya semboyan , “politik
adalah panglima” adalah semboyan yang dikibarkan tinggi-tingi oleh
Lekra sendiri dan bukan tuntutan atau perintah maupun instruksi dari
PKI. Demikian antusiasnya, hingga Lekra seolah ingin lebih revolusioner
dari PKI itu sendiri. Tentu saja hal itu bisa dipahami, karena Lekra
bekerja dengan ekspressi seni yang mana hal itu memungkinkannya untuk
mengekspresikan pandangan politik secara lebih menghunjam dalam ke hati
nurani manusia.
Tapi dalam kenyataan, PKI bukannya
terlena begitu saja akan sokongan dan simpati besar dari para seniman
dan penulis Lekra. Seorang yang terlalu banyak menerima pujian atau
kekaguman tentu akan tersipu-sipu apalagi bagi mereka yang rasa tahu
dirinya cukup tinggi. Begitu pula PKI. Tidak semua pujian dan kekaguman
yang telah dituangkan dalam karya seni Lekra, mempunyai nilai seni atau
nilai sastra yang benar-benar bisa terasa tinggi bahkan, cukup memadai
dan sering-sering sebaliknya, terlalu banyak reklame, terlalu banyak
semboyan dan seruan, terlalu banyak politik daripada seni atau sastranya
dan mulailah timbul ejekan dan celaan dari para penentang realisme sosialis maupun dari pihak musuh-musuh Lekra, sebagai seni dan sastra bermutu rendah. PKI
merasakan hal itu. Dan salah seorang pembesar PKI, Nyoto yang juga
tokoh Kebudayaan, adalah juga anggota Lekra. PKI tahu bagaimana
menghadapi para seniman, mengerti perasaan mereka, atau yang ketika itu
terkenal sebagai “garis massa.” Dengan pertolongan pendekatan “garis
massa” inilah, PKI mulai berani “mengritik” para seniman dan sastrawan
“super-antusiasme,” yang kebanjiran inflasi semboyan dan seruan dalam
karya-karya seni dan sastra mereka, dengan apa yang pernah terkenal
sebagai dua tuntutan tinggi: “tinggi mutu seninya, dan juga tinggi mutu
politiknya.”
Tapi, luapan antusias terlanjur tidak bisa dibendung dan dua tuntutan dari PKI, yang juga disetujui Lekra, dalam kenyataannya tidak banyak menolong. Sebabnya adalah,
Lekra kebanjiran penyair, kebanjiran sastrawan, kebanjiran seniman,
dimana pandangan kala itu semua orang bisa jadi sastrawan, semua orang
bisa jadi seniman, semua orang bisa jadi pengarang. Dan istilah
“penyair,” “sastrawan,” dan “seniman” diganti dengan “PEKERJA SENI”
untuk mengesankan “sama rata sama rasa” di bidang seni: tidak ada
seniman, tidak ada sastrawan, tidak ada penyair, yang ada “PEKERJA
SENI.”
Lahirnya istilah “PEKERJA SENI”
sebagai pengganti “gelar” yang diangggap diskriminatif dan bahkan
dianggap mulia yang hanya dimonopoli golongan seniman, pada hakekatnya
adalah kecemburuan para politikus dalam PKI dan Lekra sendiri, yang
ingin semuanya jadi “seniman” meskipun bukan bidang dan bakat mereka.
Tapi, berbekal gelar “PEKERJA SENI,” seniman sungguh dan “seniman
politik” jadi satu derajat, sama tinggi bakat dan kemampuan seninya. Itu
agaknya semacam “demokratisasi” dalam seni dan dalam kenyataan, cukup
banyak anggota pimpinan PKI, naik pangkat jadi “PEKERJA SENI.”
LEKRA adalah sebuah gerakan kebudayaan yang
nasional dan kerakyatan, yang di dalamnya memang ada orang-orang yang
jadi anggota PKI, tetapi yang sebagian besarnya, bukan. Lekra didirikan
dan bekerja untuk kepentingan yang nasional dan kerakyatan di lapangan
kebudayaan. LEKRA, sebagaimana terlihat pada Mukaddimahnya, tidak
mengazaskan kegiatannya pada pandangan klas dan atau Marxisme-Leninisme.
Juga organisasi yang mengatur kegiatannya tidak berbau Leninisme
sedikitpun. Jika terdapat karya di lingkungan LEKRA yang dialamatkan
langsung kepada kepentingan Partai Komunis Indonesia, ssudah tentu
secara langsung menjadi tangungjawab pencipta karya itu, yang mungkin
saja anggota PKI. Orang berhak memuliakan sesuatu yang ia anggap
demikian, namun haknya itu hendaklah pula diperlakukan dengan adil
ketika ia mempertanggungjawabkannya. Adapun tanggungjawab LEKRA, ia
berada di lingkup selama karya itu tidak anti rakyat dan tidak anti
Revolusi Agustus 45, atau seperti yang dinyatakan dalam Mukaddimahnya,
“LEKRA menyetujui setiap aliran bentuk dan gaya, selama ia setia pada
kebenaran, keadilan dan kemajuan, dan selama ia mengusahakan keindahan
artistik yang setinggi-tingginya” dan “LEKRA mengulurkan tangan kepada
organisasi kebudayaan yang lain dari aliran atau keyakinan apapun untuk
bekerjasama dalam pengabdian ini.”
Sedangkan PKI, merupakan sebuah partai
politik. Dan politik, adalah sebuah pembidangan teoritis. Seni, sastra,
ilmu dan kebudayaan juga demikian. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
arti kata politik sehubungan dengan ilmu adalah, pengetahuan mengenai
kenegaraan, seperti sistem dan dasar-dasar pemerintahan. Arti kedua
ialah, segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat, dan
sebagainya) mengenai pemerintahan negara. Arti ketiga, kebijaksanaan,
atau cara bertindak. Imam Ghazali merumuskan: “segala yang menyangkut
negara adalah politik”. Misalnya dalam hal ini masalah LEKRA dan PKI,
dua buah organisasi yang saling terkait dalam kerjasama tapi juga saling
menentang. Salah satu pertentangannya yang laten dan yang fatal terjadi
ketika kira-kira menjelang akhir tahun 64, sebuah gagasan PKI
disampaikan kepada sementara anggota Pimpinan Pusat LEKRA. Gagasan itu
menghendaki agar LEKRA dijadikan organisasi PKI yang juga mempunyai
anggota non-PKI. Jika LEKRA setuju pada gagasan yang praktis mem-PKI-kan
LEKRA, maka hal itu akan diumumkan secara formal. Tapi LEKRA telah
menolak gagasan itu. Alasannya sangat sehat, demokratis dan sudah tentu
demi kepentingannya sebagai organisasi kebudayaan yang tujuan-tujuannya
telah disimpulkan di dalam mukaddimah organisasinya. Nyoto yang Anggota
Sekretariat Pimpinan Pusat LEKRA adalah juga Wakil Ketua II CC PKI,
turut serta menolak gagasan mem-PKI-kan LEKRA itu. PKI di tahun itu
sedang bugar-bugarnya. Dan LEKRA berhasil menentang penguasaan PKI
secara organik atas organisasi tersebut. Proses itu bukan tanpa taruhan.
Apa yang kemudiannya dikenal sebagai “Konferensi Sastra dan Seni PKI”
adalah bagian dari pertentangan dan pertarungan antara LEKRA dan PKI.
Konferensi yang juga telah terang-terangan memperbedakan LEKRA dengan
PKI di bidang kebudayaan. Ironisnya malah terjadi di tahun-tahun sesudah
65. Banyak orang yang mem-PKI-kan LEKRA. Sehingga yang terjadi adalah,
jika D.N. Aidit tidak berhasil, orang lain yang padahal atau tampak
seperti anti PKI, malah “berhasil” mem-PKI-kan LEKRA. Mem-PKI-kan LEKRA
dapat membawa kerancuan dalam tubuh seni, sastra dan bahkan kebudayaan
negeri ini karena penilaian dan penentangan yang tidak berujungpangkal.
Pewayangan tua, madya ataupun carangan, ketoprak dengan segala
keterikatannya pada babad selaku ancang-ancang sejarah, kesenian Bali
dengan segala akarnya yang religi, ludruk dan bermacam reog atau pun
randai dengan kandungan realisme sejarah dan satirenya, ataupun
Cianjuran, Dogdog atau Tarling adalah di antara bentuk-bentuk seni yang
telah dicampuri LEKRA. Belum lagi kita bicara mengenai sastra, senirupa
dan musik Indonesia masa kini.
Bahwa di kalangan politik, “tribalisme”
sering tampil sebagai metode pemecahan soal, biarkanlah kafilah itu
berlalu. Hal yang demikian tidak patut ditiru dan diberlakukan bagi
kebudayaan. Sebab kebudayaan, seni dan sastra, tidak dapat dimiliki oleh
suatu partai politik. Partai politik boleh berganti atau sirna, tetapi
kebudayaan, tidak. Jika yang ini sirna, atau sengaja disirnakan, pada
akhirnya akan menuhukkan bangsa ini ke lembah yang papa. Selain itu,
bahwa mem-PKI-kan LEKRA adalah sebuah perbuatan yang murni politik. Yang
kandungan manipulasinya bisa luar biasa besarnya. Maka itu pula
agaknya, sehubungan dengan tragedi nasional G30SPKI, banyak seniman
LEKRA yang ditahan, tidak pernah diperiksa mengenai LEKRA, sebagai
organisasi atau gerakan kebudayaan. Juga tidak pernah diperlihatkan,
“Surat Keputusan Pemerintah yang membubarkan atau yang melarang LEKRA
berdiri dan bergiat”, oleh tim-tim pemeriksa yang mewakili Pemerintah
Republik Indonesia kita ini. Begitulah hukum formal itu memperlakukan
LEKRA. Politik, terutama politik praktis, dalam prakteknya, dapat
memanipulasi apa saja untuk kepentingan taktis atau pun strategisnya.
Tapi tidak demikian halnya dengan kerja kebudayaan. Ia tidak harus
langsung tunduk kepada kepentingan politik praktis, dan taktis serta
tidak semua politik praktis dapat dimanfaatkan kerja kebudayaan. Ia
dapat dan biasa berada di luar jalur-jalur kepentingan politik yang
demikian. Semboyan “Politik Adalah Panglima”, tidak berarti politik
sesuatu partai adalah yang harus dijadikan “panglima”. LEKRA tidak
pernah mengikat diri pada pengertian demikian. Sebab, konotasi politik
dalam semboyan itu adalah wawasan, bukan lembaga atau orang. Wawasan
yang dapat lebur ke dalam proses penciptaan dan karya seni sepereti
patung, cerpen atau sajak. Dan di dalam proses inilah wawasan politik
itu tunduk pada tuntutan estetika artistik. Di sini estetika itu yang
jadi panglima. Di sini taraf keseniman yang menentukan. Di sini
kejujuran dan hati nurani itu jadi perdana menteri, jika kita ingin juga
memakai analogi. Ada wawasan politik yang dapat dilebur ke dalam kerja
dan karya kebudayaan. Tapi ada juga yang tidak. LEKRA misalnya, pernah
mengeluarkan pernyataan “menyokong kembali ke UUD 45”, tapi tidak pernah
mengeluarkan pernyataan “menyokong dibentuknya kabinet NASAKOM” sebagai
gebrakan politik praktis. Tapi jika esensi “NASAKOM” itu diolah sebagai
emansipasi bentuk persatuan nasional bangsa ini, pendirian LEKRA juga
jelas. Pengertian politik di sini merupakan bagian dari perjalanan
sejarah eksistensi masyarakat manusia Republik Indonesia ini. Jadi,
LEKRA tidak melakukan vulgarisasi pengertian dan pekerjaan politik. Dan
pandangan demikian dengan jelas dijalin di dalam “Mukaddimah LEKRA”.
Lagi pula kita semestinya tidak perlu lupa menyimak sebuah buku berjudul
“ABRI sebagai kekuatan sosial dan pokok-pokok kebijaksanaan dalam
rangka memelihara dan meningkatkan kemanunggalan ABRI dengan rakyat”
terbitan 10 mei 1979 dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Buku
itu antara lain dengan tandas sekali menyatakan bahwa “Walaupun titik
berat pembangunan kita terletak di bidang ekonomi, namun perlu
diperhatikan bahwa sesungguhnya bidang politik mendasari semua bidang
pembangunan”. Tidak begitu lama sesudah Mukaddimah Pertama LEKRA
diumumkan, yaitu pada 17 Agustus 1950, berdatanganlah kritik atasnya.
Kritik-kritik itu pada pokoknya menyatakan bahwa beberapa bagian dari
Mukaddimah itu ternyata tidak cocok dengan keadaan Indonesia. Ia
mengandung sejumlah jargon yang tak mudah difahami umum. Hingga
disusunlah suatu Mukaddimah baru, seperti yang umumnya kita jumpai
sekarang. Penggantian Mukaddimah berlangsung secara formal dalam
Konferensi Nasional Lekra ke-1, tahun 1957. Yang kemudian disyahkan oleh
Kongres Nasional LEKRA ke I, tahun 1959 di Solo yang penutupannya
dihadiri Presiden Sukarno. Pidato Bung Karno pada penutupan Kongres ini
menjadi terkenal dan kontroversial, karena ia menyerukan sebuah sikap
menolak menjadikan “musik ngak-ngik-ngok” sebagai musik kebangsaan
Indonesia, terutama bagi kaum remaja Indonesia. Sikap Bung Karno itu
sesungguhnya merupakan bagian pandangan kebudayaan Indonesia yang
berkepribadian nasional. Sebuah sikap yang telah membersit dan tumbuh
dalam gerakan kebangkitan nasional. Ia telah diungkapkan oleh Dr.
Sutomo, Ki Hajar Dewantara, dan bahkan Moh. Hatta selaku Wakil Presiden
dalam pidato sambutannya pada Kongres Kebudayaan Indonesia ke 2 tahun
1952 di Bandung. Dan pada Kongres Nasional ke-1 LEKRA ini pula Nyoto
dalam pidato sambutannya, menyinggung agar wawasan “Politik Adalah
Panglima” dimanfaatkan oleh daya-upaya kebudayaan kreatif dan
reproduktif. Gagasan yang kemudian terutama di dalam era “orde baru” ini
menjadi kelewatan kontroversialnya. Namun, tidaklah diambil sesuatu
putusan apapun mengenai “Politik Adalah Panglima” dalam Kongres ke I
LEKRA tahun 1959 itu, kendati ia memancing diskusi-diskusi yang
galau-galau menarik. Dua tahun kemudian baru, yaitu di dalam Sidang
Pleno Pimpinan Pusat LEKRA, Juli 1961, “Politik Adalah Panglima” itu
diterima sebagai azas kerja kreatif, bersama dengan lima tuntutan
lainnya, sebagai pedoman yang bersifat seruan yang umum saja, bukan
instruksi atau keharusan. Tidak dibuat petunjuk rinci apapun mengenai
ini. Dan tidak ada penjelasan baku yang harus diikuti. Orang bebas
memberikan interpretasinya, memakai atau tidak memakainya dalam kerja
dan karya. Latar belakang sesungguhnya dari semboyan ini ialah untuk
mendorong pada seniman dan sastrawan LEKRA memiliki pengertian politik
yang memadai. Dan politik hanya dapat dipahami baik, jika kita punya
wawasan sejarah. Sejarah yang pada gilirannya akan mendorong orang
menggunakan ilmu dalam berkarya, sehingga bawaan tukang yang ada pada
seniman, dapat dibekali oleh ilmu seperti, psikologi, sosiologi,
ekonomi, politik, antropologi dan apa saja yang akan jadi penopang dalam
penciptaan karya yang lebih fungsional, tahan waktu dan bernilai.
Semasa organisasinya berfungsi, LEKRA sangat
mengutamakan pendidikan, diskusi dan saling didik. Sanggar-sanggar dan
lembaga yang dipimpin seniman-seniman LEKRA mendidik pelukis muda,
pamatung muda, para dalang, sinden, penabuh dan penari muda, para
aktris, aktor dan penulis skenario untuk drama, film, ketoprak, ludruk
dan bahkan randai dan abdul muluk. Ada dua tiga Sanggar yang mungkin
sudah amat terkenal di masa sebelum 65. Daiantaranya “S.I.M.” (Seniman
Indonesia Muda) yang dipimpin Soedjojono, Harjadi dan Suromo dan
“Pelukis Rakyat” yang dipimpin Hendra Gunawan, Affandi dan Trubus. Untuk
dapat dididik di lembaga-lembaga demikian, tidak ada persyaratan
seseorang harus jadi anggota LEKRA dulu, apalagi PKI. Pokoknya ada
bakat, mau belajar dan bekerja keras. Cukup. Zaini, seorang pendukung
terkemuka dari “Manikebu”, adalah pelukis terkemuka hasil didikan SIM
(Seniman Indonesia Muda) pimpinan S. Soedjojono. Sejarah Indonesia
adalah mata pelajaran dan diskusi penting dan diberikan untuk semua
bidang. Kemudian sastra, nasional maupun daerah. Di samping sudah tentu
ketrampilan atau kiat seni masing-masing bidang. Bentuk pelajaran
seperti sejarah, sastra, psikologi atau ekonomi, tidak kurikuler.
Bentuknya ceramah dan diskusi. Melalui cara demikian, mereka dapat
memahami “Politik Adalah Panglima”, menurut kemampuan orang yang ikut
belajar-mengajar. Literatur, mereka boleh pilih sendiri. Tidak ada
satupun keharusan dalam hal ini. Orang-orang LEKRA tentu saja boleh
mendengar ceramah orang-orang PKI, PNI, NU, Golkar dan sebagainya dan
membacai literatur mereka. Mereka tentu juga boleh membaca karya-karya
Mochtar Lubis yang anti PKI, atau HB Jassin atau siapa saja yang tidak
sejalan dengan LEKRA. Yang sesungguhnya diinginkan LEKRA ialah, agar
seniman dan sastrawan yang berhimpun di dalam atau di sekitarnya, berani
dan mahir berfikir secara mengasah intuisi kesenimanannya. Agar
kebudayaannya meninggi, agar mutu artistik dan ideologi karyanya
menjulang, tahan kritik, tahan waktu dan berfungsi dari masa ke zaman.
Untuk itu diperlukan pemahaman sejarah, kenyataan nyata ataupun
kesunyataan dengan perkembangan-perkembangannya. LEKRA tidak lebih dari
sebuah dan salah satu sarana saja untuk itu.
Jadi, akhirnya kita akan melihat dan menghayati “Politik Adalah
Panglima” itu secara bersegi banyak, berubah dan dialektis sekali. Lalu
mengapa LEKRA merasa perlu menjadikannya sebagai semboyan atau pedoman
untuk pekerjaan-pekerjaan kreatif? Untuk menjawab ini kita harus
mengingat bahwa antara tahun 50-an dan 60-an, masih ada semacam
propaganda yang hendak mengusir atau menjauhkan seniman dan sastrawan,
keluar dari gelanggang politik. Politik adalah orang politik. “Politik
itu kotor” kata pembohongan itu. Sedang “Seniman dan sastrawan itu suci”
katanya lagi. Tidak perlu ikut-ikut berpolitik, termasuk dalam
berkarya. LEKRA menentang propaganda bodoh yang hendak membodohi kaum
seniman dan kebudayaan Indonesia itu. Propaganda itu bertentangan dengan
tradisi dan cita-cita Kebangkitan Nasional. Bertentangan dengan azas
demokrasi dari Republik yang baru saja ditegakkan. Bertentangan dengan
sejarah perjuangan kemerdekaan, dengan azas yang disepakati pada Kongres
Kebudayaan Indonesia ke 1 tahun 1948 di Magelang. Sedikit banyak
propaganda bodoh demikian mempan juga. Bahkan di sana sini ia berkuasa
membodohi sejumlah seniman, sastrawan beserta para pekerja kebudayaan.
Terutama di kalangan muda. Sehubungan dengan wawasan “politik adalah
panglima” itu, barangkali baik saya catatkan di sini apa yang di
lingkungan LEKRA kemudian dikenal dengan 1.5.1. Yaitu, berazaskan
“Politik Adalah Panglima”, melaksanakan 5 kombinasi, melalui cara “Turun
Ke Bawah”. Kelima kombinasi itu ialah, “Meluas dan Meninggi”,
“Memadukan Tradisi yang Baik dengan Kekinian Yang Revolusioner”, “Tinggi
Mutu Artistik, Tinggi Mutu Ideologi”, “Memadukan Realisme Revolusioner
dengan Romantisme Revolusioner” dan “Memadukan Kreativitas Individual
dengan Kearifan Massa.” Jika eksistensi LEKRA digugat secara kultural,
gugatan itu seyogianya berurusan dengan kaedah-kaedah kultural yang
patriotik, demokratis dan ilmiah yang disandang atau yang ingin
disandang LEKRA. Dan LEKRA dalam menjabarkan kerja dan karyanya, selama
organisasinya berfungsi, ia tidak hanya bekerja sama dan membantu kaum
pekerja, tetapi juga kaum tani. Ia tidak hanya membantu dan bekerja sama
dengan kaum buruh dan tani, tetapi juga tentara nasional Indonesia. Di
samping, di mana mungkin membantu Pemerintah, sembari juga jika perlu
mengeritiknya. Sebagai fenomen demokrasi yang tengah dibutuhkan
kebudayaan dan sejarah negeri ini, LEKRA selalu menganggap Pemerintah
sebagai pamong yang digaji oleh Rakyat dan karena itu ia sudah
seyogianya mengabdi Rakyat yang menghormati mereka. Rakyat adalah bapak,
bukan anak. Maka itu kekuasaan tertinggi yang ada pada negara ini ada
di tangannya, yang ia tuangkan ke dalam lembaga Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR).(Tulisan ini bisa diakses juga : http://sejarah.kompasiana.com/2012/04/26/penunggangan-pki-terhadap-lekra/ )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar