Senin, 30 Januari 2012

Sejarah Pergerakan WANI(ta) Indonis

Dalam perjalanan sejarah, wanita pernah menjadi aktor yang vokal ditengah
gelanggang politik  dan sekaligus menjadi ibu dan istri yang “baik” selama
perjuangan anti kolonial. Dua peranan ini dapat berpadu dalam praktiknya, karena
wanita harus memainkan peranan politik justru agar supaya menjadi ibu yang baik
(dari rakyat dan bangsa Indonesia), dan istri yang  baik (sebagai pembantu laki-
laki dalam perjuangannya). Hubungan politik antara wanita dan laki-laki menjadi
berubah secara mendasar ketika Indonesia telah merdeka. Hal itu antara lain
karena tidak adanya lagi musuh bersama, sehingga laki-laki cenderung mengklaim
bidang politik sebagai bidang mereka sendiri, dan wanita lebih diposisikan untuk
berperan di bidang sosial.Berikut ini akan dibahas perkembangan pergerakan
wanita di Indonesia, terutama peranan politik mereka dalam menghadapi kekuatan
kolonial dan menegakkan kedaulatan negara Republik  Indonesia sebagai negara
merdeka:
Dalam sejarah Indonesia, perjuangan wanita sudah muncul sejak abad ke –
19, seiring dengan berkembangnya gerakan-gerakan politik masyarakat dalam
menghadapi kekangan kolonial. Sebut saja dalam gerakan itu seperti Christina
Martha Tiahahu dari Maluku pada tahun 1817-1819; Nyi Ageng Serang dari Jawa
Tengah pada sekitar pertengahan abad XIX; Cut Nyak Dien dan Cut Meutia di
dalam perang Aceh tahun 1873-1904; dan juga RA Kartini tahun 1879-1904;
Dewi Sartika 1884-1947; Maria Walenda Maramis tahun 1872-1924, Nyi Ahmad
Dahlan tahun 1872-1936, Rasuna Said 1901-1965.
 

 RA. Kartini umumnya disebut-sebut sebagai salah seorang di antara tokoh-
tokoh terkemuka wanita feminis dari zamannya, dan ia memang tokoh feminis
dari masa awal yang paling terkenal. Kartini (1879-1904) adalah anak kedua
(wanita) dari Bupati Jepara, sebuah daerah di pantai utara Jawa. Ayahnya seorang
yang berpikiran maju, karenanya mengizinkan anak-anak wanitanya mengikuti
pendidikan sekolah dasar bersama-sama dengan kakak-kakak mereka. Suatu hal
yang luar biasa untuk zaman itu. Walaupun Kartini sangat ingin meneruskan
sekolahnya sesudah memasuki masa remajanya, seperti halnya kakak-kakaknya,
yang salah seorang di antaranya bahkan belajar di Universitas Leiden, Negeri

Belanda, ia justru dimasukkan ke pingitan “kurungan emas,” demikian ia
menyebut istana ayahnya di dalam salah satu suratnya. Begitulah adat-istiadat
bagi gadis-gadis bangsawan zaman itu. Di dalam pingitan itu, sambil menunggu
saat dikawinkan dengan laki-laki yang mungkin belum pernah dilihat
sebelumnya.Kartini memulai surat-menyuratnya yang luar biasa dengan beberapa
tokoh, termasuk seorang feminis Belanda yaitu Stella Zeehandelaar. Di dalam
surat-suratnya ini yang sering merupakan luapan amarah terhadap segala keadaan
yang mengungkung kebebasan geraknya, dan yang menghalangi dirinya dari
perjuangan sepenuhnya untuk kepentingan dan emansipasi rakyat Jawa pada
umumnya, dan wanita Jawa pada khususnya. Bahkan dari surat-suratnya dapat
diketahui bahwa ia pernah berangan-angan untuk tidak kawin, mandiri, dan ingin
meruntuhkan tembok feodalisme. Ia merumuskan gagasan-gagasannya, yang
unsur-unsur pokoknya adalah sebagai berikut: ia memandang pendidikan bagi
kaum wanita sebagai salah satu syarat penting untuk memajukan rakyatnya.
Dalam pandangannya, ibu yang terpelajar bisa diharapkan kemampuannya dalam
mendidik anak-anak lebih baik, tidak hanya wanita kalangan miskin, wanita
kalangan atas pun harus diberi kesempatan menjadi pencari nafkah sendiri, dan
mencari pekerjaan yang cocok bagi mereka, misalnya menjadi perawat, bidan, dan guru. Poligami harus dihapuskan karena merendahkan  martabat kaum wanita.
Buah pikiran Kartini sangat terkenal juga di luar negeri. “Van Duisternis tot
Licht” (Habis Gelap terbitlah Terang) memuat surat-surat Kartini yang berisi cita-
citanya untuk kemajuan dan memajukan kaumnya. Kartini berpendapat bahwa
untuk mengatasi keterbelakangan kaum wanita terutama ialah melalui jalur
pendidikan, karena hal itu memungkinkan tumbuhnya kesadaran masyarakat akan
adanya ketimpangan-ketimpangan, keterbelakangan, ketidakadilan dan
penghisapan. Pendidikan yang diberikan kepada kaum  wanita pada waktu itu
cukup pengetahuan dasar berhitung, baca-tulis, ketrampilan kerumahtanggaan dan
pendidikan guru. Pendidikan bagi pribumi mengakibatkan terbukanya fikiran dan
wawasan yang menumbuhkan kesadaran untuk makin maju, dan dengan demikian
mendorong untuk bergerak berjuang demi kemajuan kaum dan bangsanya.
Kartini bukanlah satu-satunya wanita yang berjuang  untuk pendidikan
kaum wanita pada zamannya. Beberapa butir dari cita-cita wanita yang dinamis,
dan dalam banyak hal juga berjiwa pemberontak ini,  diikuti oleh tokoh-tokoh
wanita lainnya, terutama cita-citanya tentang pendidikan bagi kaum wanita. 

Di Jawa Barat, Dewi Sartika menyebarkan pandangan yang sama, dan di daerah
Minangkabau, Sumatra Barat, Rohana Kudus berbuat serupa pula. Meskipun
demikian Kartini yang menjadi simbol gerakan wanita Indonesia. Bahkan dapat
dikatakan bahwa Kartini merupakan tokoh perintis pergerakan nasional. Dapat
dilihat dalam banyak suratnya kepada para sahabatnya, ia berkali-kali mengajak
 . seluruh bangsa bumiputera untuk bangun dan memasuki “jaman baru”. Oleh
karena itu tidak mengherankan jika hari lahirnya, 21 April, selalu dirayakan oleh
organisasi-organisasi wanita dewasa ini. Adanya kaum wanita di sekolah-sekolah,
universitas-universitas, atau angkatan bersenjata,  biasanya disebut-sebut sebagai
bukti tentang taraf emansipasi yang telah dicapai oleh wanita Indonesia. Pada
tahun 1964 Kartini dinyatakan sebagai “Pahlawan Nasional”. Dalam
kenyataannya kepahlawanan Kartini tersebut juga diakui oleh bangsa-bangsa
lain.Para tokoh Perintis gerakan wanita belum mempunyai perkumpulan atau
organisasi wanita, dengan kata lain berjuang orang  perorangan; tetapi dalam
kenyataan bahwa mereka mengangkat senjata bahu membahu dengan kaum laki-
laki melawan penjajah Belanda, tidak dapat dipungkiri bahwa mereka merupakan
sumber inspirasi bagi generasi wanita berikutnya untuk berjuang melawan
penindasan dan ketidakadilan. Juga para tokoh Perintis dalam masa sesudah
diterapkannya Politik etis Belanda di Indonesia, memberikan teladan dan
dorongan kepada kaumnya untuk meneruskan jejak langkah mereka. Mereka
berjuang untuk emansipasi dan partisipasi untuk membangun kemandirian
kaumnya, kemajuan bangsa dan kemerdekaan tanah airnya.
Unsur lain gerakan wanita Indonesia yang sedang tumbuh ialah hasrat
untuk “emansipasi nasional.” Dalam pada itu pengaruh warisan cita-cita Kartini
untuk emansipasi wanita berkumandang menembus batas-batas kamar
pingitannya, dan perhatian kaumnya pada periode kebangkitan dan kesadaran
nasional ini mulai juga untuk meningkatkan perjuangan wanita. 
Pada tahun 1912 muncul organisasi wanita yang pertama di Jakarta "Putri
Mardika" atas bantuan Budi Utomo. Kemudian di Jawa  Tengah seperti
“Pawiyatan Wanito” di Magelang yang berdiri tahun 1915, “Wanito Hadi” di
Jepara tahun 1915, “Purborini” di Tegal tahun 1917, “Wanito Susilo” di Pemalang
tahun 1918, “Darmo Laksmi” di Salatiga, “Karti Woro” dan “Budi Wanito” di
Solo, “Wanito Kencono” di Banjarnegara, “Panti Krido Wanito” di Pekalongan,
dan “Kesumo Rini” di Kudus. Selain itu juga berdiri organisasi “Wanito Rukun
Santoso” di Malang, “Putri Budi Sejati” di Surabaya tahun 1919, “Wanito Mulyo”
di Yogyakarta tahun 1920, “Wanito Utomo” di Yogyakarta tahun 1921, “Wanita
Taman Siswa” tahun 1922, “Aisyiyah” di Yogyakarta tahun 1917, “Wanita
Katholik” di Yogyakarta tahun 1924, “Jong Islamiten Bond Dames Afdeeling” di
Jakarta tahun 1925.  Di pulau Sumatera berdiri organisasi pergerakan wanita antara lain “KAS”
(Kerajinan Amai Setia) yang didirikan tahun 1914, “keutamaan Istri” di Medan,
“Istri Sumatera”, “PARMI” (Partai Muslimin Indonesia) Bagian Istri, “Persatuan
Istri Andalas”, dan sebagainya. Di Sulawesi berdiri organisasi-organisasi wanita
antara lain “PIKAT” (Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya) di Menado
tahun 1917, “Sarekat Rukun Istri” di Makasar, dan sebagainya. Di Kalimantan berdiri organisasi “Wanito Kencono”. Di Bali berdiri organisasi “Perukunan Istri
Den Pasar”.Kesemuanya, baik organisasi-organisasi bagian wanita dari organisasi
partai umum, maupun organisasi-organisasi lokal kesukuan/kedaerahan bertujuan
menggalakkan pendidikan dan pengajaran bagi wanita, dan perbaikan kedudukan
sosial dalam perkawinan dan keluarga serta meningkatkan kecakapan sebagai ibu
dan pemegang rumahtangga. Gerak kemajuan pada tahun-tahun sebelum 1920
dapat dikatakan lamban. Sebab-sebabnya ialah sangat kurangnya sekolah-sekolah
untuk wanita pribumi, lagi pula kadang-kadang juga  tiadanya izin dari orang tua
(dikalangan atas) atau diperlukan tenaga mereka untuk membantu orang tua
(dikalangan bawah). Disamping itu adat dan tradisi sangat menghambat kemajuan
wanita.
 

Sesudah tahun 1920 jumlah organisasi wanita bertambah banyak.
Kesediaan mereka untuk terlibat dalam kegiatan organisasi makin meningkat dan
kecakapan berorganisasipun bertambah maju. Hal ini  disebabkan karena
kesempatan belajar makin meluas dan berkembang ke lapisan bawah. Dengan
demikian jumlah wanita yang mampu bergerak di bidang sosial politik juga
bertambah luas dan tidak lagi terbatas kepada lapisan atas saja. Oleh sebab
semuanya itu, maka sesudah tahun 1920 dapat dilihat jumlah perkumpulan wanita
bertambah banyak sekali, bahkan organisasi-organisasi sosial politik seperti
P.K.I., S.I., Muhammadiyah dan Sarekat Ambon mempunyai bagian wanita.
Bagian wanita tersebut dalam penyebaran cita-cita tentu saja mempertinggi hal-
Kemajuan gerakan wanita sesudah tahun 1920, terlihat juga dengan makin
banyaknya perkumpulan-perkumpulan wanita kecil-kecil yang berdiri sendiri.
Hampir di semua tempat terutama kota-kota terdapat perkumpulan wanita. Seperti
pada masa sebelum 1920, perkumpulan-perkumpulan itu mempunyai tujuan yang
sama, ialah untuk belajar masalah kepandaian putri  yang khusus dan berperan
dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. 
 



Menjelang tahun 1928, organisasi wanita berkembang  lebih pesat. Sikap
yang dinyatakan oleh organisasi-organisasi wanita pada waktu itu, umumnya lebih
tegas, berani dan terbuka. Perkembangan kearah politik makin tampak, terutama
yang menjadi bagian dari S.I. (Sarekat- Islam), P.K.I. (Partai Komunis Indonesia),
P.N.I. (Partai Nasional Indonesia) dan PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia). 
Walaupun masing-masing organisasi yang bersifat kedaerahan dan
keagamaan ini mempunyai masalah dan kegiatan sendiri-sendiri, juga ada
beberapa kesamaan kepentingan yang didukung kebanyakan organisasi. Peranan
seorang istri dan ibu “yang baik” sangat diutamakan, dan agar bisa mengemban
tugasnya dengan baik kaum wanita dianjurkan untuk memperoleh pendidikan
yang baik, dan mempelajari keterampilan yang sangat diperlukan seperti menjahit
pakaian dan mengasuh anak. Akan tetapi organisasi-organisasi wanita Kristen dan
“non-agama” di satu pihak, dan organisasi-organisasi wanita Islam di pihak lain,
dipisahkan sangat dalam dan menentukan oleh masalah sentral: poligami.
 Organisasi wanita Kristen dan non-agama memandang poligami sebagai
penghinaan terhadap kaum wanita yang tidak bisa dimaafkan, dan justru karena
itulah mereka aktif berjuang melawannya, sementara organisasi-organisasi wanita
Islam hanya menginginkan perbaikan kondisi di dalam poligami, bukan
menghapuskan lembaga poligami itu sendiri.
Upaya-upaya untuk menyatukan
gerakan wanita pun dilakukan dan hal itu antara lain tercermin dari adanya
penyelenggaraan musyawarah, kongres, dan lain-lain.
                                                
                                                


                                                

                                               


                                                



Sabtu, 28 Januari 2012

Tembakau = Candu Haram


ketika aku memegang dan menikmati rokok Marlboro "rokok dengan cukai yng lumayan nyekik buat kalangan pelajar kayak saya"...aku berenung , dan terdiam dalam hati terus bertanya sebenernya tembakau ini eksotis tapi merusak kesehatan, aku sadar. bahwa rokok ini candu yg sangat tergila untuk menikmati, dan tiada henti dan tak bisa aku mengelaknya. piranku melaju dan mencari informasi tentang tembakau. lebih tepatnya Heuristik dlam metode sejarah "mencari sumber". dalam beberapa referensi aku mengeksplorenya dan hasilnya sebagai berikut:

“Tanaman Suci” yang terus dicari juga dicerca, di tengah berbagai temuan tentang dampaknya bagi kesehatan.

EKSOTIS dan berkhasiat. “Dunia Baru” Columbus bukan hanya membawa gelombang demam emas dan mutiara, namun juga hasrat keingintahuan bangsa Eropa terhadap sejumlah hewan dan tanaman lokal untuk dapat memanfaatkannya, secara komersial maupun medis. 

Tak semua sampel tanaman komunitas Indian Amerika yang dibawa mampu beradaptasi dengan iklim Spanyol. Koka adalah salah satunya. Namun tembakau bisa tumbuh dan melesat menjadi pusat perhatian. Adalah Nicolas Bautista Monardes, seorang figur medis Spanyol yang menanam sampel tembakau di kebunnya di Seville dan mengujicoba, khususnya daun tembakau, untuk merawat pasiennya.

“Daun tembakau memiliki kemampuan menghangatkan dan mencairkan, menutup dan menyembuhkan luka baru, sementara luka lama perlahan menjadi bersih dan kembali dalam kondisi sehat… segala kebaikan tanaman obat ini akan kita bahas lebih lanjut, termasuk manfaatnya bagi semua orang,” tulis Monardes membanggakan tembakau dalam publikasinya yang terbit sekitar 1565-1574. Publikasinya dalam edisi bahasa Inggris terbit pada 1577 dengan judul Joyful News out of the New Found World.



Kabar gembira mengenai tembakau dalam kesimpulan Monardes mengikuti kerangka pemahaman medis Yunani yang dipelopori Galen, yaitu setiap bentuk penyakit disebabkan oleh ketidakseimbangan cairan biologis (humor) manusia yang terdiri atas darah, empedu hitam, empedu kuning dan mukus, yang juga terbagi atas empat dimensi cuaca. Monardes mengklasifikasi manfaat tembakau memberikan keseimbangan humor dalam dimensi “panas” dan “dingin”. Daun tembakau, menurutnya, dapat menyembuhkan banyak gangguan seperti sakit perut, bau mulut, sakit kepala, luka-luka, nyeri otot, hingga mengurangi sakit melahirkan.

“Dalam kondisi nyeri gigi, yang disebabkan humor dingin, buatlah gulungan dari lembaran daun tembakau dan tempelkan di bagian gigi yang sakit, yang sebelumnya telah dibasuh dengan kain yang diperciki sari tembakau...,” salah satu ulasan Monardes.

Dua dari 64 varietas tembakau yang teridentifikasi di wilayah Amerika, Nicotiana rustica dan Nicotiana tabacum, sering dikonsumsi komunitas Indian. Jordan Goodman dalam Tobacco in History: The Cultures of Dependence, menyebut keduanya memiliki kandungan nikotin yang sangat tinggi dibandingkan varietas tembakau yang dipakai bangsa Eropa masa itu maupun sekarang. Bagi kelompok Indian, tembakau adalah tanaman suci, yang memfasilitasi perubahan tingkat kesadaran menuju dunia para roh dan mampu menyembuhkan berbagai bentuk penyakit. Goodman menyimpulkan bahwa membakar serta menghisap asap tembakau merupakan cara tercepat menyerap nikotin, dan biasanya dipimpin oleh seorang shaman (dukun) dalam ritual penyembuhan atau penyembahan roh.

Sejak abad ke-17, konsumsi tembakau di Eropa meluas. Mike Jay dalam High Society: Mind-Altering Drugs in History and Culture menyebutkan peperangan yang terjadi di berbagai wilayah Eropa turut menyebarluaskan kebiasaan “minum-asap” di antara prajurit dan menjadi simbol kebersamaan kaum pria. Konsumsi tembakau pun tak lagi terbatas dengan pipa. Menghirup bubuk halus tembakau (snuff), yang juga tersedia dalam beberapa jenis rasa buah atau bunga serta dikemas dalam kaleng-kaleng berornamen sempat menjadi trend di kalangan bangsawan Inggris pada abad ke-18. Munculnya kertas penggulung (papirossi) juga membuat kebiasaan merokok kian menjalar ke berbagai lapisan masyarakat Eropa hingga abad ke-19. 

Kebiasaan yang mulai populer ini tak sepenuhnya diterima semua kalangan. Raja James I dari Inggris termasuk yang mengecamnya. Dalam testimoni A Counterblaste to Tobacco pada 1604, dia menyebut merokok sebagai “sebuah kebiasaan yang tak enak di mata, menyakitkan hidung, mengganggu otak, berbahaya untuk paru-paru.”

Dalam buku The Emperor of All Maladies: A Biography of Cancer karya Siddharta Mukherjee, istilah carcinogen, atau agen penyebab kanker yang disebabkan faktor-faktor eksternal atau buatan manusia (bukan dari ketidakseimbangan internal seperti faham Galen), mulai terdefinisi lewat penelitian ilmuwan Inggris, Percival Pott, pada 1775. Pott menyelidiki tingginya jumlah anak-anak penyapu cerobong asap yang menderita kanker skrotum. Hasil penelitian Pott menyimpulkan bahwa paparan debu asap beracun, yang kemudian menempel pada luka-luka di kulit anak-anak penyapu, menjadi celah berkembangnya kanker.


Namun hingga awal abad ke-20, teori yang menghubungan kanker dengan merokok masih dianggap sebagai kemustahilan. Bahkan seorang ahli bedah paru terkemuka dari Amerika pada 1920-an dan perokok berat, Evarts Graham, meremehkan penelitian rekan sejawatnya, Alton Oschner, yang menghubungkan peningkatan penjualan rokok dengan jumlah penderita kanker paru-paru. Graham menjawab Oschner dengan berkata, “Jika demikian, menggunakan stocking nilon pun dapat menyebabkannya (kanker)!”  

Berbeda dari penyakit menular yang memiliki agen pembawa (carrier) seperti penyakit-penyakit zoonotis umumnya (malaria, rabies, dan sebagainya), di mana metode cause-effect (penyebab-dampak) dapat diterapkan, penyebaran kanker membutuhkan pendekatan berbeda. Para peneliti di Amerika dan Eropa awalnya menerapkan metode case-control, di mana sekelompok pasien penderita kanker menjadi kelompok target (case) dengan pasien nonkanker sebagai kelompok pembanding (control).

Pada 1948, peneliti di Inggris, Richard Doll dan Austin Bradford Hill, menerapkan metode case-control terhadap ratusan pasien di beberapa rumahsakit di London yang terbagi atas dua kelompok: penderita kanker, termasuk kanker paru-paru, dan nonkanker. Di awal penelitian, mereka mempertimbangkan berbagai sumber karsinogen selain merokok seperti paparan aspal, serta jarak tempat tinggal pasien dengan stasiun gas, pabrik, dan asap batubara.

Kedua peneliti –dalam tulisan Mukherjee– kemudian prihatin dengan tingginya statistik yang mengarah pada kebiasaan merokok. Kebanyakan penderita kanker yang terdata adalah mereka yang menghisap asap rokok dengan model sigaret, ketimbang pipa. Doll, seorang perokok yang awalnya meyakini paparan aspal sebagai penyebab kanker paru-paru, tak lagi bisa mempertahankan argumentasinya dan berhenti merokok di tengah penelitiannya. Hasil penelitian mereka, “Smoking and Carcinoma of the Lung”, pun dipublikasi dalam British Medical Journal pada 1950. 

Doll dan Hill pun memperluas hasil penelitian mereka dengan menerapkan pendekatan cohort – mengobservasi jenis penyakit kelompok target dan pembanding serta penyebab kematian dalam periode beberapa tahun. Mereka mulai mengirimkan survei singkat tentang sejarah merokok kepada 59.600 dokter di Inggris pada Oktober 1951. Kelompok dokter yang menjadi target adalah mereka yang lahir antara 1900-1930. Jawaban para dokter kemudian mereka kelompokkan berdasarkan kategori perokok dan bukan perokok. Doll dan Hill kemudian mencatat setiap terjadinya kematian di masing-masing kelompok serta penyebab kematian. 







Hasil penelitian mereka selama empat tahun dan lima bulan itu akhirnya terbit pada 1957 dan dimuat British Medical Journal dengan judul “Lung cancer and other causes of death in relation to smoking; a second report on the mortality of British doctors”. Dari total 1.714 kematian yang tercatat, 84 di antaranya disebabkan kanker paru sebagai faktor utama dan dialami oleh lebih dari 90% perokok –di mana kategori perokok berat (di atas 25 gr tembakau sehari) memiliki tingkat mortalitas tertinggi. Penyebab kematian lainnya termasuk jenis kanker lain dan penyakit jantung.

Penelitian Doll dan Hill berjalan bersamaan dengan sejumlah penelitian lainnya, termasuk di Amerika. Evarts Graham yang terkenal dengan komentar “stocking nilon”, bersama ilmuwan Ernest Wynder, akhirnya bersedia berkolaborasi meneliti sejarah penderita kanker paru-paru yang disebabkan kebiasaan merokok dalam jangka waktu lama. Hasil penelitian mereka, terbit pada 1950 dengan judul “Tobacco Smoking as a Possible Etiologic Factor in Bronchiogenic Carcinoma“ dalam publikasi American Medical Association, menunjukkan dari 605 penderita kanker paru-paru, sebanyak 96,5% adalah perokok sigaret.


Sayangnya, Evarts Graham pun kemudian terdiagnosis kanker paru-paru tujuh tahun setelah publikasinya. Graham, yang beberapa tahun sebelumnya baru berhenti merokok, awalnya menderita keluhan serupa flu. Setelah berminggu-minggu tak kunjung sembuh, dia memutuskan melakukan pemeriksaan x-ray dan menemukan tanda-tanda kanker paru-paru.

“Saya sangat gelisah untuk mengabarkan penyakit ini kepadamu, mengingat persahabatan serta kerjasama yang baik dan menyenangkan yang kita lakukan untuk mengalahkan musuh ini, yang kini berhasil menaklukkan saya,” tulis Graham dalam surat kepada Wynder, 6 Februari 1957. Kondisi Graham terus menurun hingga meninggal dunia pada 4 Maret 1957.

Pro dan kontra tembakau terus berlanjut. Bergulirnya penelitian baru serta peraturan-peraturan pemerintah di Eropa dan Amerika yang membatasi ruang lingkup perokok, batasan usia, serta pencantuman bahaya merokok terhadap kesehatan diikuti dengan berbagai studi dan lobi untuk mendebatnya. Merokok telah menjadi bagian dari budaya manusia dan akan selalu menjadi sebuah pilihan untuk menikmati atau menghentikannya.

Kamis, 26 Januari 2012

BINTANG PENCERAH.

alur canda dan percakapan itu menggema,sebuah pesan singkat membatasi ruang mimpi ini.
aku tak memaksakan kehendak ketika coretan pena itu membuatmu terpinggirkan.
sepak terjang yg terus memaksakan bualan bibir yg membeku,tanpa daya.
ketika kau tiba di pelabuhan karang,
suaramu serak,aku tetap membisu layaknya karang pasrah bersetubuh dengan ombak.
betina(ku) kau sadarkan fantasi itu terlalu over,menerjan daya nalarku.
pegang tanganku,
sama2 mencari titik untuk kebahagian.
buang sarat gengsi membuat kita lupa di mana kita harus melangkah.
biarkan kata orang,
ini bukan saudagar yg menawarkan barang.
tapi kita harus ingat,
jalan ini tak terlalu singkat untuk kita tempuh.
bintang pencerahku sadarkan aku.
ini bukan mimpi belaka.

Jumat, 20 Januari 2012

Curhat dari Nenek Merah "GERWANI"

MARS GERWANI

" LIHAT BANYANGAN HARI DEPAN KIAN
CEMERLANG,
KARENA WANITANYA SEMUA
IKUT BERJUANG,
GERWANI,GERWANI GERAKAN
WANITA INDONESIA,
GERWANI,GERWANI
PENDUKUNG CITA-CITA,
BAGI TANAH AIR
YANG BEBAS MERDEKA
DAMAI BAHAGIA."


Denger lagu Mars ini, saya mendengarnya dari Kawan GMNI dan Kawan Senior di Fakultas Sastra Jurusan Ilmu Sejarah. Agak Takut waktu itu Masih ada stigma kalo PKI bersama Simpatisannya adalah IBLIS yg harus di Hindari semua orang. membuatku penasaran dengan tertantang untuk mengetahui dan belajar Ideologi Komunis, Hahaha...Mungkin aku lah dr sekian orang segelintir pelajar orang Haram...bahkan Kafir...kali...emang aku pikirin dengan semau sekata,,,sama rata pikirku.. seharusnya mereka juga sama rasa denganku....hahaha

skripsi dan bikin aku terjun kelapangan untuk wawancara. mencari informasi seputar bekas2 GERWANI  di TANAH MERAH (basis PKI di Banyuwangi " KarangAsem (Yosomulyo), Mantekan (sidotentrem),  Cemetuk "Lubang Buaya Cemetuk". 
saya sempet Frustasi mendekati mereka, Mereka yg terisolasi Jaman Orba dengan KTP yg Berinisial di atas KTP dengan Tanda " E-T" yg artinya Eks_Tahanan Politik. Bahkan yg sangan menyedihkan anak dan cucunya juga harus menanggung aibnya....dengan ancaman pemerintah Tidak pernah di Izinkan Masuk PNS...hoh kejam,,,orang yg gak tau apa2 seperti bayi yg baru lahir seharusnya Suci kata orang Muslim...yg parah justru organisasi Muslim itu yg membunuh nenek moyang mereka , sedangkan anak melanjutkan ke jenjang Marjinal dan terpinggirkan...seperti sampah masyarakat.
dengan stigma ada yg bilang begini ke padaku itu loh " si Asu PKI, Kontol lan Tempek haram di Kentu ".....aku pun tertawa,,,palingan podo bangkange yo doyan....dlm isi piranku.

sambil melirik gedeg mereka menunjukkan itu loh mas omae ASU PKI / Gerwani ..sambil menujuk telunjuk  jarinya seakan simbol " FUCK"...kalo orang sopan khas "JAWA doro bei " dengan menggunakan Jempol sekan menunjukkan "LIKE THIS"...hahahaaha.
 
Sudah setahun saya mendekati mereka kadang aku membantu nenek merah. .mengenal kehidupan yang sulit...penuh Ke(terluka)-an hinaan dan termajinalkan...mengenal nenek, tua baya di Desa Karangasem (sekarang Yosumulyo) di Kecamatan Gambiran , Kabupaten Banyuwangi. 
banyak pengalaman yang aku peroleh dr nenek merah..pandangan Ilmu hidup yg tersiksa. kejam pikirku buat ASUHARTO yg merengkuh segalanya...suaminya yg di bunuh dan kepalanya di gantung di polres Gambiran. gak bisa membayangkan bagaimana rasanya suami yg cintainya di tontonkan kepala tanpa tubuh di gantung layaknya lomba Agustusan..
dalam hatiku seperti pecah membayangkan bila aku di posisi nenek merah..Jancuk kok ada manusia sekejam itu...
 
mata merah dan membagi masa kelam tahun 1965 di Banyuwangi. ah setumpuk asa bagi halayak penguasa Orde lama.
Bu Supiah itu adalah nama aslinya...wanita tua yg sudah seharusnya aq memanggilnya nenek merah.
ada yg bertanya kenapa aku memanggilnya nenek merah,ada yg beranggapan ilustrasi kejam para serdadu militer di penjara plantungan(penjara wanita Tapol 1965).
beliau berucap
"mas pernah denger kan lagu genjer-genjer. mas juga orang oseng. pasti mas tau lagu itu begitu indahnya".
dalam keheninganku aku bertanya. benar apa yg di katakan nenek merah. sungguh indah lagu cipt orang Temenggungan Banyuwangi itu pada masa Saudara Sejagung Romusha.

 
 
.
pesanmu buatq sangat berarti.
dan memacu andrenalin meskipun ketar ketir ketakutan diciduk oleh KEPARAT!.
mungkin ceritamu akan ku sambung kembali ke penaku.
nenek merah.
tahun Orde Baru " merah dan darah untuk kaum yg di latenkan". Nenek merah curhatmu adalah penaku.
 

FAKTOR-FAKTOR PEMICU KONFLIK ETNIS

Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai suku, ras dan agama (majemuk). Kemajemukan ini diperlihatkan oleh adanya berbagai golongan etnis yang ada didalamnya di bawah suatu negara kebangsaan (Baarth, 1988: 17). Menurut Hildred Geertz tidak kurang dari 300 golongan etnis yang mendiami berbagai tempat dan menyebar di berbagai pulau di Indonesia (Nasikun, 1984: 39). Kebhinekaan/kemajemukan yang tidak terakomodasi dengan baik akan menimbulkan jarak sosial, yang pada gilirannya menjadi konflik sosial. Pada dasarnya konflik merupakan interaksi yang menimbulkan pertentangan yang berupa bentrokan, perkelahian atau peperangan (Suseno, 1991).

Sedangkan Gungwu (1981: 261-264), menilai bahwa Indonesia merupakan contoh sebuah negara yang mempunyai “masalah Cina” yang teramat kompleks. Salah satu masalah tersebut erat kaitannya dengan identitas kultural mereka sebagai golongan etnis non pribumi, terhadap identitas kultural mayoritas penduduk golongan etnis pribumi. Bertolak dari asumsi tersebut jelas bahwa kemungkinan terjadinya konflik antar etnis terutama golongan etnis keturunan Cina amatlah besar.

Beberapa temuan hasil penelitian menyebutkan, konflik antar golongan etnis terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Temuan studi menunjukkan penyebab pemicu timbulnya konflik antar etnis memang sangat kompleks. Dahrendorf dalam Johnson (1990), mengklasifikasikan kondisi yang dapat mempengaruhi konflik mencakup: (1) kondisi teknik, (2) kondisi politik dan (3) kondisi sosial. Beberapa penyebab timbulnya jarak sosial dan konflik sosial yang terpokok ialah faktor ekonomi politik, dan perlakuan diskriminatif. Hal tersebut bisa diperparah dengan terabaikannya tatanan sosial dan sendi-sendi kehidupan yang menuntut kebersamaan. Manakala hal-hal tersebut terjadi maka dengan mudah akan menimbulkan konflik sosial di tengah-tengah masyarakat yang terdiri dari berbagai etnis.

Penelitian yang dilakukan oleh Kuntowibisono tahun 1997 yang disampaikan dalam Intership Dosen-dosen Pancasila se-Indonesia tanggal 1-11 Agustus 1999, mengenai faktor-faktor yang memicu timbulnya kerusuhan di daerah Tasikmalaya, Situbondo dan Kalimantan Barat antara lain disebabkan oleh : (1) Persaingan dalam bisnis, (2) Ekonomi, (3) Etnis, (4) Politik dan (5) Friksi kebijakan tingkat tinggi. Sedangkan Kusnadi dalam tulisannya di Kompas 4 Maret 2001 menyebutkan bahwa kerusuhan-kerusuhan yang terjadi akhir-akhir ini lebih disebabkan oleh faktor jarak sosial dan jarak budaya. Jarak sosial dan budaya ini timbul karena faktor ekonomi dan politik. Solo Pos 20 Juni 1998 dan Jawa Pos 1 Juni 1999 menyebutkan bahwa timbulnya konflik-konflik sosial sering diakibatkan oleh faktor ekonomi, hubungan antar etnis, asimilasi, budaya dan kultur, diskriminasi dan kebijakan pemerintah.

Sedangkan temuan Sanjatmiko (1999) dalam kasus etnis keturunan Cina dan pribumi di Tangerang, menyimpulkan bahwa faktor renggangnya jarak sosial dan hubungan antar kedua etnis adalah disebabkan oleh : (1) Tidak terjadinya perubahan pola kultur etnis keturunan Cina ke dalam penduduk pribumi, sehingga masih kuatnya in group feeling penduduk etnis keturunan Cina terhadap kulturnya; (2) Anggapan kultur etnis keturunan Cina lebih tinggi dari komuniti pribumi: (3) Prasangka stereotipe negatif terhadap penduduk pribumi yang pemalas, bodoh, tidak bisa menggunakan kesempatan baik dsb. Sebaliknya steorotipe penduduk etnis pribumi terhadap etnis keturunan Cina disebut sebagai golongan yang maunya untung sendiri tanpa melihat halal atau haram; (4) Diskriminasi pribumi terhadap etnis keturunan Cina dalam kesempatan menduduki jajaran aparat desa/pemerintahan; (5) Nilai-nilai dan kekuatan konflik yang ditunjukkan dengan adanya perbedaan agama dan kesenjangan ekonomi di antara kedua etnis. Berbagai aspek di atas diduga sebagai faktor penyebab terjadinya jarak sosial antara etnis pribumi dan keturunan Cina.

Temuan Tunjung dalam penelitian kerusuhan etnis di Surakarta (1999), menyebutkan bahwa telah terjadi korban yang sangat besar bagi komunitas etnis keturunan Cina, baik secara materiil maupun spirituil. Kalkulasi data pemerintah daerah setempat menunjukkan bahwa kerusakan bangunan ditafsir sekitar 19 milyar rupiah. Ditambah dengan kerusakan dan pembakaran barang-barang dan toko-toko, serta aksi penjarahan mencapai kerugian lebih dari 20 milyar rupiah. Menurutnya faktor kekuasaan (kesewenangan oknum aparat) dapat mempengaruhi ketidakadilan dalam proses perwujudan tata ekonomi, tata sosial, tata politik dan dalam ketidakadilan dalam tata budaya secara struktural. Sebagaimana yang terjadi di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Medan, Surabaya dan kota Solo tepatnya bulan Mei 1998 telah terjadi tragedi amuk massa. Peristiwa yang dipertajam dengan isu anti Cina tersebut merupakan indikasi, sebagai bentuk perlawanan dari ketidakpuasan terhadap perkembangan keadaan yang dihadapi oleh warga masyarakat setempat dan sekitarnya.
Akibatnya berbagai ekses kerusuhan menjadi beban sosial yang semakin rentan terhadap potensi konflik berikutnya dalam segala bentuk, jumlah dan kualitasnya. Menurut hasil penelitian Agus (2000), dampak kerusuhan kota Surakarta (Solo) 1998, telah menimbulkan berbagai perilaku menyimpang. Banyak ditemukan perilaku kekerasan anak jalanan, membanjirnya wanita tuna susila (WTS) liar, pengamen jalanan di perempatan jalan yang meresahkan pengguna jalan, aneksasi tempat umum sebagai tempat usaha informal yang sudah pada tingkat mengganggu pengguna publik, hilangnya kesempatan kerja 50.000-70.000 orang yang menimbulkan stres berat (h. 61-62). Sikap dan perilaku menyimpang tersebut sudah memprihatinkan, dan apabila tidak ada upaya pemecahan segera akan sangat mudah menimbulkan masalah baru yang bahkan lebih berat lagi ancamannya.

Hasil penelitian yang senada juga dikemukakan Pelly (1999), dalam kasus etnis keturunan Cina di kota Medan, bahwa kasus amuk massa Mei 1998 bermula dari krisis moneter yang tidak pernah kunjung tuntas. Menurutnya persoalan lain yang menjadi pemicu kerusuhan ialah adanya kesenjangan kaum papan atas (the haves) dengan kalangan papan bawah yang merupakan kelompok mayoritas, yang secara tajam menunjukkan perbedaan menyolok. Kesenjangan sosial-ekonomi (jarak sosial) tersebut disebabkan adanya perbedaan akses terhadap sumber daya dan ekonomi (economic resources), rekayasa sosial dan perlakuan diskriminatif pemerintah rezim Orde Baru dalam kesempatan berusaha dan mengembangkan diri. Apalagi kemudian di kota-kota besar termasuk di kota Solo terjadi peningkatan jumlah penggangguran dan tindakan kriminalitas, serta tuntutan masyarakat yang bersifat politis seperti tuntutan pemilu yang demokratis, gerakan kaum mahasiswa dengan semboyan reformasi. Serentetan peristiwa yang bersifat menegara itu lalu memicu timbulnya rasa ketidak percayaan rakyat kepada pihak pemerintah hingga kewibawaan pemerintah terkoyak, yang pada akhirnya gejolak kerusuhan itu tidak terelakkan lagi (Alqodrie, 1999).

Bapak darahmu darahku

Aku ini darah keturunanmu
Aku ini Bagian dari spermamu
Aku ini sebagai penerusmu
Aku ini bagian dari dirimu
Bapak..oh..Bapak
apakah kita selamanya bersama pergi ke sawah?
menanam padi dan memanennya.
Berbicara setumpak asa yang mulai menoton.
Berbicara tak penting sebenarnya itu penting.

dalam bahu terasa berat atas bimbinganmu
dalam hati terasa tak bisa aku iyakah untuk sebuah jawaban
dalam kata seperti tak ada lidah untuk aku omongkan
dalam pikiran hanya membayangkan kemustahilan

aku akan mencoba seperti dirimu
membimbing anak2 ku kelak
seperti kau membimbing
kumenjadi seperti yang kau harapkan

aku tersadarkan dirikau korbankan waktu,uang,dan masa depan untuk aku
mungkin aku telah mengecewakan dirimu seperti yang kau harapkan
saat ini yg ku impikan cuma membuat kau tersenyum
biarkan aku mencari jalanku sendiri
mencari apa yg seharusnya aku cari
ini bentuk cintaku padamu

Bapak ,,,anakmu ini sudah memilih warna
bukan warna yang kau harapkanku ingin kau mengerti dan ku nyakin kau mengerti.

Bapak...Darahmu mengalir ke darahku..
namun slalu no 2 setelah nama Bundaku.
aku mengkesampingkan itu.
bagiku Bapak dan Bunda adalah Satu dalam doa pertama yg slalu aku ucapkan
Tuhan ...
Jaga Kedua insan itu...
Bimbing aku atas bimbingan mereka

Gerakan bila Petani kelaparan


Sifat tanah sebagai ideologis tercermin sudah sejak dahulu kala. Dalam kerangka ideologi inilah pemberontakan petani semenjak jaman kolonial hingga kini (konflik tanah versus penggusuran demi pembangunan) membentuk logika perlawanan tersendiri. Hanya bentuk-bentuk perlawanan, teknik pengorganisasian, dan cara-cara tokoh mengartikulasikan diri ke dalam gerakan itulah yang terus berubah dan berkombinasi. Ideologi itu sendiri dapat dikatakan belum bergeser pemaknaannya.Itu berarti hampir setiap tahun ada saja onrust atau uproar (kerusuhan), sifatnya lokal dan mudah ditindas, termasuk peristiwa paling spektakuler yakni pemberontakkan petani Banten pada tahun 1888. Pemberontakkan petani Banten pada tahun 1888 menjadi puncak perlawanan kaum tani terhadap penguasa penjajah dan kaki tangan pribuminya sepanjang abad 19 dan menjelang abad 20. Pemberontakkan petani Banten juga dilatarbelakangi oleh beban berat penderitaan kaum tani dan kebencian yang amat dalam terhadap penguasa Belanda maupun juga penguasa pribumi (Bupati dan Residen) yang dianggap sebagai antek-antek Belanda. Pemberontakkan terjadi di Banten, Lebak dan juga sampai ke daerah Batavia. Pemimpin pemberontakkan berasal dari kalangan ulama yaitu kyai/tubagus maupun para jawara. Namun demikian pemberontakkan petani Banten tersebut dapat ditumpas dengan mudah karena seperti halnya karakter gerakan perlawanan kaum tani sebelum abad 20, masih bersifat lokal, kedaerahan dan dipimpin oleh tokoh feodal lokal.
Pada awal abad 20, mulai bermunculan organisasi pergerakan modern yang sudah mulai mengusung tema-tema perjuangan nasionalisme dan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Seperti misalnya Sarekat Islam (SI) yang sekalipun tujuan awalanya untuk kepentingan perlindungan bagi usaha dagang pribumi, tapi dalam perkembangannya juga banyak bersentuhan dengan tema nasionalisme dan anti kolonialisme, dan segera saja memiliki keagngotaan luas di seluruh Indonesia. Kemudian juga lahir ISDV yang memang sedari awal memiliki garis anti kolonialisme dan banyak mempelopori lahirnya organisasi klas buruh seperti VSTP , serikat buruh kereta api. Kaum tani juga kemudian memiliki organisasinya yaitu Serikat Buruh Tani dan Perkebunan, yang pada perkembangannya berdiri sendiri-sendiri yaitu Serikat Buruh Tani dan Serikat Buruh Perkebunan. Perlawanan kaum tani juga tidak pernah surut, bahkan pada tahun 1926 meletuslah pemberontakan nasional kaum tani bersenjata. Pemberontakkan 1926 ini bertujuan untuk menghancurkan kolonialisme dan juga sisa-sisa feodalisme. Berbeda dengan perlawan kaum tani sebelum abad 20, pemberontakkan 1926 memperlihatkan karakter nasional dan telah dipimpin oleh klas buruh. Bersifat nasional, karena telah terjadi di banyak tempat baik di Jawa maupun luar Jawa seperti Sumatera dan Kalimantan. Juga tidak lagi dipimpin oleh penguasa feodal lokal tetapi oleh klas buruh, melalui partainya. Tetapi karena kelemahan-kelemahan secara internal di dalam gerakan perlawanan kaum tani dan kepemimpinan klas buruh, maka pemberontakkan mengalami kegagalan dan dapat ditumpas oleh Belanda. Salah satu kelemahan misalnya pemberontakkan tidak dilakukan dalam waktu yang serentak, sehingga memudahkan Belanda
Pasca 1926, gerakan kaum tani mengalami pengawasan dan penekanan yang ketat dan keras dari Belanda, karena kekuatiran muncul kembali perlawanan dan pemberontakkan dari kaum tani. Demikian pula di masa imperialisme fasis Jepang, polisi rahasia Jepang yang dikenal sangat kejam dan lihai senantiasa memata-matai gerak-gerik kaum tani dan para pimpinannya. Sehingga tidak sedikit yang kemudian ditangkap, disiksa dan dipenjarakan. Namun demikian tidak menghalangi kaum tani untuk tetap bergerak, dan puncaknya ketika Revolusi Nasional 17 Agustus 1945, kaum tani yang dipimpin oleh para pemuda revolusioner turut serta secara aktif dalam merebut persenjataan dari Jepang dan memproklamasikan kemerdekaan. Di banyak tempat terbentuk laskar tani di samping laskar rakyat yang lain seperti laskar pesindo, laskar buruh, laskar minyak dan lain-lain. Demikian juga ketika terjadi agresi Belanda dan kedatangan Sekutu selama kurun waktu 1945-1948, kaum tani juga turut aktif dalam perlawanan rakyat bersenjata.
Pada bulan November 1945, diselenggarakan kongres petani yang pertama dan dalam kongres tersebut lahirlah Barisan Tani Indonesia (BTI). Kemudian disusul kelahiran Rukun Tani Indonesia (RTI) dan Sarekat Kaum Tani Indonesia (Sakti). Pada tahun 1947 berdiri Serikat Tani Islam Indonesia (STII) yang disponsori oleh Masyumi. Menyusul PETANI yang banyak dinilai dekat dan PNI dan PETANU yang dekat dengan NU. Organisasi-organisasi tani tersebut, khususnya BTI kemudian berkembang dengan pesat, bahkan pada akhir tahun1955, anggota BTI telah mencapai angka 3 juta lebih dan tersebar di seluruh penjuru Indonesia. Gerakan petani paska berdirinya organisasi tani modern tersebut tidak dapat dilepaskan dari gerakan massa rakyat dalam revolusi Indonesia. Program perjuangan dari organisasi tani khususnya BTI, RTI dan Sakti yang dikemudian hari meleburkan diri menjadi BTI digariskan dengan tegas yakni anti imperialisme dan juga anti feodalisme dengan memperjuangkan terlaksananya land reform. Organisasi tani inilah yang secara aktif menuntut nasionalisasi perusahaan asing dan pelaksanaan secara konsisten UUPA 1960.
Tahun 1960-an merupakan masa di mana gerakan tani di Indonesia sempat mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Saat itu presiden Sukarno menyebut kaum tani sebagai ”Sokoguru Revolusi” bagi bangsa Indonesia. Beliau merujuk kaum tani sebagai kaum marhaen, yang memiliki lahan tapi lahannya itu sempit.

Pada tahun 1966, pemerintahan Soekarno jatuh dan naiklah orde baru yang dipimpin oleh Soeharto. Periode ini menandai awal dari sebuah masa kemunduran gerakan tani dan surutnya organisasi-organisasi tani. Pada awal naiknya orde baru, banyak anggota BTI yang dibunuh oleh pemerintahan Soeharto dengan tuduhan komunis. Hal tersebut menimbulkan trauma panjang di kalangan kaum tani untuk bangkit dan membangun gerakan tani. Hal tersebut memang merupakan strategi orde baru untuk melumpuhkan gerakan tani di Indonesia. Pasca 1966, orde baru mempraktekkan kebijakan yang sangat mengekang kebebasan berorganisasi bagi kaum tani. Satu-satunya organisasi yang 'direstui' oleh orde baru adalah HKTI, dan apabila kaum tani menolak masuk HKTI atau mendirikan organisasi sendiri maka akan dicap sebagai pembangkangan terhadap pemerintah. Demikian juga aturan tentang partai politik yang tidak diperbolehkan membentuk ranting sampai tingkat desa, merupakan upaya dan strategi orde baru untuk memberangus kesadaran politik kaum tani. Dan ini terbukti berhasil, di mana selama 32 tahun, kaum tani di Indonesia dibuat buta tentang politik dan menganggap hal yang tabu untuk berbicara atau berurusan dengan politik. Protes dan ketidakpuasan petani juga banyak dihadapi dengan kekerasan oleh orde baru, sehingga menimbulkan ketakutan yang mendalam di kalangan kaum tani. Dapat dikatakan, selama Soeharto berkuasa, gerakan tani mengalami kemunduran yang luar biasa.
Seakan menemukan mo­mentunya, kekuatan pasar melalui Rezim Politik Orde Baru tampil di pucuk ke­kuasaan di Indonesia. Bagi rezim ini periode sebelumya dianggap lebih mengutamakan kepentingan politik yang dalam prakteknya melahirkan konflik-konflik sosial. Pagi-pagi sekali rezim politik ini membangun imaginasi po­litiknya bahwa pelaksanaan reforma agraria di Indonesia telah gagal di­jalankan. Proses “transformasi” ke­salahpahaman tersebut se­ngaja dilakukan dalam rang­ka mem­perkuat status quo suatu orde. Rezim politik Orde Baru dibangun atas dasar konsensus nasional yang mementingkan stabilisasi, rehabilitasi dan pembangunan nasional yang mengarah pada kepentingan pasar. Tentu saja konsensus nasional ini me­nolak adanya gagasan yang mendasarkan pada perubahan struktur sosial-politik dan ekonomi secara radikal. Bagi Orde Baru masalah reforma agraria hanya sebagai masalah teknis. Tanah bukan merupakan dasar dari proses pembangunan nasional, me­lainkan menjadi masalah rutin birokrasi pembangunan. Pada aras kelembagaan, yang me­ngurus masalah ini tidak lagi berstatus Kementerian, lebih birokrasi teknis urusan per­tanahan. Portofolionya “di­turunkan” pada urusan bi­rokrasi pertanahan.
Namun bukan berarti bahwa selama masa orde baru berkuasa, kaum tani tidak melakukan perlawanan. Kebijakan orde baru banyak mengabdi pada kepentingan imperialisme, borjuasi komprador dan tuan tanah. Akibatnya sangat merugikan kaum tani dan menelantarkan petani dalam penderitaan akibat praktek penyerobotan, perampasan dan penggusuran tanah rakyat dengan berbagai dalih seperti untuk kepentingan pembangunan, dirampas perkebunan, perhutani dan perusahaan, untuk pembangunan perumahan mewah dan industri, diambil alih militer dan lain sebagainya. Selama kurun waktu 30 tahun mulai 1970 sampai dengan tahun 2000, tercatat telah terjadi tidak kurang dari 1753 kasus sengketa tanah yang menghadapkan kaum tani dengan negara maupun pengusaha dan militer. Perlawanan kaum tani tetap dilakukan seperti misalnya dengan melakukan pembangkangan pembayaran pajak, aksi demonstrasi, aksi mogok makan, perusakan fasilitas pemerintah, penolakan untuk dipindahkan dari tanahnya, pembakaran milik perusahaan, penuntutan kembali hak atas tanah (reklaiming), pengambilalihan atau pendudukan tanah (okupasi) sampai juga perlawanan fisik. Demikian juga pendirian organisasi-organisasi tani secara independen di luar HKTI juga merupakan bentuk perlawanan secara organisasi. Juga praktek pertanian organik, pendirian koperasi-koperasi dan lumbung-lumbung benih merupakan bentuk perlawanan petani terhadap kebijakan pemerintah yang menempatkan petani dalam situasi ketergantungan terhadap input produksi seperti pupuk, benih dan obat-obatan yang banyak banyak diproduksi pablik dari pihak asing
Pasca Soeharto jatuh pada tahun 1998, kebebasan demokratik terbuka lebih lebar dibanding masa sebelumnya. Sehingga kemudian gerakan petani mengalami kebangkitan kembali. Aksi aksi petani menuntut dikembalikannya tanah-tanah yang dulu dirampas orde baru semakin marak terjadi di mana-mana bahkan sampai dilakukannya reklaiming dan pendudukan tanah. Demikian juga tuntutan untuk dilaksanakannya UUPA 1960 semakin bertambah besar. Organisasi-organisasi independen yang didirikan oleh kaum tani sendiri, baik di tingkat desa, kabupaten, propinsi bahkan nasional banyak bermunculan. Keberanian kaum tani dalam menyuarakan pendapat dan memperjuangkan kepentingannya semakin bertumbuh-kembang. Sekalipun demikian tetap harus menghadapi sikap yang keras dan represif dari negara, seperti kasus terakhir berupa penembakkan petani di Bulukumba, Sulawesi Selatan dan Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Dari rangkaian ulasan singkat tentang sejarah gerakan tani di Indonesia, dapat dengan jelas disimpulkan bahwa penindasan terhadap petani telah terjadi dari masa ke masa. Demikian juga dalam setiap masa penindasan, selalu muncul perlawanan kaum tani. Ini membuktikan kebenaran hukum obyektif perkembangan masyarakat bahwa di mana ada penindasan, di situlah akan berkobar perlawanan. Dan sejarah gerakan tani di Indonesia membuktikan satu hal yang penting bahwa KAUM TANI MEMILIKI TRADISI BERLAWAN.
Referensi sumber:
1. Kuntowijoyo, Radikalisasi Petani. (Yogyakarta : Yayasan Bentang Budaya: cetakan ketiga 2002)
2. Sartono Kartodirdjo,  Pemberontakan Petani Banten 1888 (Jakarta : Pustaka jaya,  1984).
3. Soegijanto Padmo. Landreform dan Gerakan Protes Petani Klaten 1959 – 1965, (Yogyakarta: Media Pressindo, 2000)
           4. Hermawan Sulistiyo, Palu Arit di Ladang Tebu :  Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966), (Jakarta : KPG& Yayasan Adikarya Ikapi & Ford Foundation, Jakarta. 2000)
           5. Aminuddin Kasdi, “Kaum Merah Menjarah : Aksi Sepihak PKI/BTI di Jawa Timur (1960-1965)” dalam  Harsutejo, G30S – Sejarah  Yang Digelapkan.( Jakarta : Hasta Mitra. 2000)