Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai
suku, ras dan agama (majemuk). Kemajemukan ini diperlihatkan oleh
adanya berbagai golongan etnis yang ada didalamnya di bawah suatu
negara kebangsaan (Baarth, 1988: 17). Menurut Hildred Geertz tidak
kurang dari 300 golongan etnis yang mendiami berbagai tempat dan
menyebar di berbagai pulau di Indonesia (Nasikun, 1984: 39).
Kebhinekaan/kemajemukan yang tidak terakomodasi dengan baik akan
menimbulkan jarak sosial, yang pada gilirannya menjadi konflik sosial.
Pada dasarnya konflik merupakan interaksi yang menimbulkan pertentangan
yang berupa bentrokan, perkelahian atau peperangan (Suseno, 1991).
Sedangkan
Gungwu (1981: 261-264), menilai bahwa Indonesia merupakan contoh sebuah
negara yang mempunyai “masalah Cina” yang teramat kompleks. Salah satu
masalah tersebut erat kaitannya dengan identitas kultural mereka
sebagai golongan etnis non pribumi, terhadap identitas kultural
mayoritas penduduk golongan etnis pribumi. Bertolak dari asumsi
tersebut jelas bahwa kemungkinan terjadinya konflik antar etnis
terutama golongan etnis keturunan Cina amatlah besar.
Beberapa
temuan hasil penelitian menyebutkan, konflik antar golongan etnis
terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Temuan studi menunjukkan
penyebab pemicu timbulnya konflik antar etnis memang sangat kompleks.
Dahrendorf dalam Johnson (1990), mengklasifikasikan kondisi yang dapat
mempengaruhi konflik mencakup: (1) kondisi teknik, (2) kondisi politik
dan (3) kondisi sosial. Beberapa penyebab timbulnya jarak sosial dan
konflik sosial yang terpokok ialah faktor ekonomi politik, dan
perlakuan diskriminatif. Hal tersebut bisa diperparah dengan
terabaikannya tatanan sosial dan sendi-sendi kehidupan yang menuntut
kebersamaan. Manakala hal-hal tersebut terjadi maka dengan mudah akan
menimbulkan konflik sosial di tengah-tengah masyarakat yang terdiri
dari berbagai etnis.
Penelitian yang dilakukan oleh Kuntowibisono tahun 1997 yang disampaikan dalam Intership Dosen-dosen Pancasila se-Indonesia tanggal 1-11 Agustus 1999, mengenai faktor-faktor yang memicu timbulnya kerusuhan di daerah Tasikmalaya, Situbondo dan Kalimantan Barat antara lain disebabkan oleh : (1) Persaingan dalam bisnis, (2) Ekonomi, (3) Etnis, (4) Politik dan (5) Friksi kebijakan tingkat tinggi. Sedangkan Kusnadi dalam tulisannya di Kompas 4 Maret 2001 menyebutkan bahwa kerusuhan-kerusuhan yang terjadi akhir-akhir ini lebih disebabkan oleh faktor jarak sosial dan jarak budaya. Jarak sosial dan budaya ini timbul karena faktor ekonomi dan politik. Solo Pos 20 Juni 1998 dan Jawa Pos 1 Juni 1999 menyebutkan bahwa timbulnya konflik-konflik sosial sering diakibatkan oleh faktor ekonomi, hubungan antar etnis, asimilasi, budaya dan kultur, diskriminasi dan kebijakan pemerintah.
Sedangkan temuan Sanjatmiko (1999) dalam kasus etnis
keturunan Cina dan pribumi di Tangerang, menyimpulkan bahwa faktor
renggangnya jarak sosial dan hubungan antar kedua etnis adalah
disebabkan oleh : (1) Tidak terjadinya perubahan pola kultur etnis
keturunan Cina ke dalam penduduk pribumi, sehingga masih kuatnya in
group feeling penduduk etnis keturunan Cina terhadap kulturnya; (2)
Anggapan kultur etnis keturunan Cina lebih tinggi dari komuniti
pribumi: (3) Prasangka stereotipe negatif terhadap penduduk pribumi
yang pemalas, bodoh, tidak bisa menggunakan kesempatan baik dsb.
Sebaliknya steorotipe penduduk etnis pribumi terhadap etnis keturunan
Cina disebut sebagai golongan yang maunya untung sendiri tanpa melihat
halal atau haram; (4) Diskriminasi pribumi terhadap etnis keturunan
Cina dalam kesempatan menduduki jajaran aparat desa/pemerintahan; (5)
Nilai-nilai dan kekuatan konflik yang ditunjukkan dengan adanya
perbedaan agama dan kesenjangan ekonomi di antara kedua etnis. Berbagai
aspek di atas diduga sebagai faktor penyebab terjadinya jarak sosial
antara etnis pribumi dan keturunan Cina.
Temuan Tunjung dalam
penelitian kerusuhan etnis di Surakarta (1999), menyebutkan bahwa telah
terjadi korban yang sangat besar bagi komunitas etnis keturunan Cina,
baik secara materiil maupun spirituil. Kalkulasi data pemerintah daerah
setempat menunjukkan bahwa kerusakan bangunan ditafsir sekitar 19
milyar rupiah. Ditambah dengan kerusakan dan pembakaran barang-barang
dan toko-toko, serta aksi penjarahan mencapai kerugian lebih dari 20
milyar rupiah. Menurutnya faktor kekuasaan (kesewenangan oknum aparat)
dapat mempengaruhi ketidakadilan dalam proses perwujudan tata ekonomi,
tata sosial, tata politik dan dalam ketidakadilan dalam tata budaya
secara struktural. Sebagaimana yang terjadi di kota-kota besar di
Indonesia seperti Jakarta, Medan, Surabaya dan kota Solo tepatnya bulan
Mei 1998 telah terjadi tragedi amuk massa. Peristiwa yang dipertajam
dengan isu anti Cina tersebut merupakan indikasi, sebagai bentuk
perlawanan dari ketidakpuasan terhadap perkembangan keadaan yang
dihadapi oleh warga masyarakat setempat dan sekitarnya.
Akibatnya berbagai ekses kerusuhan menjadi beban sosial yang semakin rentan terhadap potensi konflik berikutnya dalam segala bentuk, jumlah dan kualitasnya. Menurut hasil penelitian Agus (2000), dampak kerusuhan kota Surakarta (Solo) 1998, telah menimbulkan berbagai perilaku menyimpang. Banyak ditemukan perilaku kekerasan anak jalanan, membanjirnya wanita tuna susila (WTS) liar, pengamen jalanan di perempatan jalan yang meresahkan pengguna jalan, aneksasi tempat umum sebagai tempat usaha informal yang sudah pada tingkat mengganggu pengguna publik, hilangnya kesempatan kerja 50.000-70.000 orang yang menimbulkan stres berat (h. 61-62). Sikap dan perilaku menyimpang tersebut sudah memprihatinkan, dan apabila tidak ada upaya pemecahan segera akan sangat mudah menimbulkan masalah baru yang bahkan lebih berat lagi ancamannya.
Akibatnya berbagai ekses kerusuhan menjadi beban sosial yang semakin rentan terhadap potensi konflik berikutnya dalam segala bentuk, jumlah dan kualitasnya. Menurut hasil penelitian Agus (2000), dampak kerusuhan kota Surakarta (Solo) 1998, telah menimbulkan berbagai perilaku menyimpang. Banyak ditemukan perilaku kekerasan anak jalanan, membanjirnya wanita tuna susila (WTS) liar, pengamen jalanan di perempatan jalan yang meresahkan pengguna jalan, aneksasi tempat umum sebagai tempat usaha informal yang sudah pada tingkat mengganggu pengguna publik, hilangnya kesempatan kerja 50.000-70.000 orang yang menimbulkan stres berat (h. 61-62). Sikap dan perilaku menyimpang tersebut sudah memprihatinkan, dan apabila tidak ada upaya pemecahan segera akan sangat mudah menimbulkan masalah baru yang bahkan lebih berat lagi ancamannya.
Hasil penelitian yang senada juga
dikemukakan Pelly (1999), dalam kasus etnis keturunan Cina di kota
Medan, bahwa kasus amuk massa Mei 1998 bermula dari krisis moneter yang
tidak pernah kunjung tuntas. Menurutnya persoalan lain yang menjadi
pemicu kerusuhan ialah adanya kesenjangan kaum papan atas (the haves)
dengan kalangan papan bawah yang merupakan kelompok mayoritas, yang
secara tajam menunjukkan perbedaan menyolok. Kesenjangan sosial-ekonomi
(jarak sosial) tersebut disebabkan adanya perbedaan akses terhadap
sumber daya dan ekonomi (economic resources), rekayasa sosial dan
perlakuan diskriminatif pemerintah rezim Orde Baru dalam kesempatan
berusaha dan mengembangkan diri. Apalagi kemudian di kota-kota besar
termasuk di kota Solo terjadi peningkatan jumlah penggangguran dan
tindakan kriminalitas, serta tuntutan masyarakat yang bersifat politis
seperti tuntutan pemilu yang demokratis, gerakan kaum mahasiswa dengan
semboyan reformasi. Serentetan peristiwa yang bersifat menegara itu
lalu memicu timbulnya rasa ketidak percayaan rakyat kepada pihak
pemerintah hingga kewibawaan pemerintah terkoyak, yang pada akhirnya
gejolak kerusuhan itu tidak terelakkan lagi (Alqodrie, 1999).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar