Lidah ombak pantai
Papuma terus menjilati pasir putih, ketika kita berdua menatap senja yang kian
memerah. Matahari tenggelam ke dasar tepat di ujung laut sebelah barat. Lalu
kita beranjak, di bawah lambaian nyiur menyusuri pantai sambil menjinjing
sandal. Di tepi laut ini kita berjalan mengejar buih putih yang di damparkan
ombak di antara pasir putih dan kita sama sekali tidak menghiraukan burung
camar yang meliuk-liuk menghina diantara mega yang kini bersemburat merah. Sesekali
memekikkan telingga dengan suara yang nyaring.
“Kamu merasa senang di pantai,” kataku
mencoba mencairkan suasana. Suaraku berhasil
memecah kesunyiannya atau lebih tepat di
katakan dia kaget mendengar
suaraku yang serak.
“Ya, senang sekali,” jawabmu singkat.
Sesingkat cerita ini. Walaupun tidak
terdengar seriang nada suaramu yang menandakan kegembiraan. Tapi aku tahu di
antara nada suaramu terdengar sumbang dan aku tahu di antara semuanya itu kamu
menyelipkan suatu rahasia di setiap kata yang kamu ucapkan. Kita pun mulai lagi
terbawa ke alam bawah sadar kita masing-masing. Menghayalkan dan memikirkan
sesuatu yang bakal terjadi atau sama sekali tidak akan pernah terjadi. Sambil
terus melangkahkan kaki menjauhi keramaian. Keramaian yang penuh dengan suara
bising dan hingar bingar.
Aku tidak peduli lagi dengan langkahku
yang semakin jauh. Setapak demi setapak yang meninggalkan bekas dan kemudian di
sapu oleh ombak yang kian mendekati bibir pantai. Kamu tahu aku pasti gundah,
gelisah sama seperti aku memahami isi hatimu yang berisi kegundahan dan
kegelisahan. Kita memang di rundung kegundahan dan kegelisahan. Kita terbalut
dalam suatu kesedihan yang amat mendalam. Lalu kita pun mendekap semua apa yang
akan kita lepaskan secara tidak rela, yang di redupaksa oleh cinta para tetua
dan para leluhurmu. Semburat merah senja telah memenuhi jagad semesta, walaupun
tanpa pelangi yang tidak pernah memudar di sini di senja pantai ini. Dan
bersama pasir putih yang di jamah oleh lidah-lidah ombak dan membawanya
menuruni bibir pantai.
“Tara, masih ingat di mana kita pertama kali Jadian,”
aku memancing kenangan dengan mengingatkan sejarah penting antara aku dan Tara.
Mengingatkan kejadian Dua tahun yang
lalu yang membuatku mengenal Tara lebih dalam lagi. Yang menyiratkan
butiran-butiran cinta sejak perkenalan pertama itu. Dan yang membawaku kembali
kesini sore ini atas nama cinta. Aku berusaha mengidupkan kembali kenangan yang
telah lalu yang menurutku sangat manis dan kenangan yang teramat manis di
memori cintaku dan juga cinta Tara.
“Ya,.. kita Jadian dan mengikrarkan
Cinta kita dipantai ini, di pantai ini persis seperti ini. Saat langit
bermandikan semburat merah keemasan. Itulah awal dari semuanya ini awal dari cinta
kita, kan,” jawab Tara.
Dan menghentikan langkah dan menatap
jauh ketengah deburan ombak di tengah laut yang sangat jauh. Jauh sekali.
Sampai aku tidak mengerti seberapa jauh pandangan mata memandang. Memang itulah
pertemuan kita batinku membenarkan ucapannya. Saat semburat merah memenuhi
jagat dan lidah ombak yang menghiasi laut serta nyanyian camar yang tidak
pernah kami hiraukan menyempurnakan alam. Lalu aku mencoba mensejajarkan diri
dengan
berdiri di sampingmu. Sebenarnya aku
tidak ingin mengingatkan masa silam yang penuh dengan kenangan itu, masa lalu
yang sudah terpatri dengan damai laksana arca di puncak dewata.
Namun aku hanya ingin memecah keheningan
yang menghinggapi kita. Karena ketakutanku terhadap sepi sehingga aku mencoba
mengingatkanmu. Aku juga tidak ingin melihat matamu sembab dan dengan pandangan
nanar kamu menatap semua kenangan yang telah bergelimpangan dan terseok-seok
manghinggapi mulut kita untuk berujar. Namun mulutku akan selalu terbuka setiap
aku menatap indahnya wajahmu.
Aku juga tidak pernah mengerti mengapa
ini harus di mulai waktu itu setahun yang lewat jika akan berkesudahan seperti
saat ini. Saat yang tidak akan pernah di harapkan oleh setiap insan yang
bercinta.
“Tapi Joel, nggak baik mengungkit masa lalu,
biarlah itu menjadi puing-puing kenangan,” jawaban yang kemudian mengingatkanku
akan suatu kehancuran istana cintaku. “Maaf ,
aku hanya terkenang,” jawabku.
Aku memang membenarkan semuanya. Semakin
lama aku memikirkan apa yang terjadi ini maka semakin lama pula aku akan
berdiri di antara ketidak pastian ini, yang akan mengombang-ambingkanku dalam
ada dan tiadanya cintamu. Aku melirik, melihat wajahmu menatap lekat-lekat. Di
sana aku menemui kesedihan dan kegelisah. Yang tersembul dibarik urat-urat di
atas retina matamu. Yang terlalu sering di usap dengan mengerdipkan mata
menahan gejolak jiwa dan juga menutup mata air air matamu. Di matamu yang dalam
aku menemui suatu derita yang tidak terperi dan seolah menemui suatu kegagalan.
Kami memang akan menemui suatu kebuntuan. Aku juga akan menemui suatu kegagalan
yang memang telah terdampar di depanku seperti permadani yang mau tidak mau aku
haru menginjakkan kakiku dan mengentikan langkahku dalam permadani kegagalan itu.
Aku tahu kegagalan ini akan menghadirkan kesepian setidaknya bagiku. Kesepian
yang selalu kutakuti. Dan hanya kesepian ini yang kutakuti.
“ Tara apakah kamu juga merasa takut
akan kesepian yang akan mendera ?” hati ini berbisik
Seandainyalah hidup seperti jejak kaki
yang di tinggalkan di tepi pantai yang akan di hapus oleh lidah ombak dan tidak
akan tersisa sedikitpun maka aku juga tidak akan terkenang oleh jejak-jejak
kenangan yang telah ku ukir bersamamu. Dan tidak akan ada kenangan yang akan
menderaku dalam kesepian tanpamu kini.
“Joel kamu tahukan ini bukan kehendakku,
bukan inginku, aku bahkan tidak menginginkan sama sekali dan aku juga tidak menduga
sama sekali keadaannya akan begini. Kamu memang benar Joel orang tuaku
konservatif, kolot dalam pemikiran walaupun mereka berada di realita
yang sulit mereka terima. Tapi aku harus
menghargai mereka. Karena mereka orang tuaku. Perkataan mereka merupakan titah
dan perintah bagiku,” Tara memberi alasan. “Aku bisa mengerti Tara, aku juga
tahu ini pasti bukanlah keinginan kamu. Memang sulit. Sudahlah tidak usah
bersedih. Anggaplah ini memang suatu jalan yang terbaik untuk kita. Lagi pula
aku yakin kalau orang tua kamu pasti memikirkan apa yang terbaik bagi anaknya.
Ah…..sudahlah,” ujarku menghibur. Suaraku memang bisa membohongi diriku
sendiri. Tapi aku memang tidak akan pernah untuk memaksa. Aku masih terus saja
menatap ke laut lepas.
**** Sore beranjak dari peraduan dan
malam Pun mulai bergayut ketika aku meninggalkan karang di tepi pantai ini.
Setahun kini telah berlalu. Aku tidak tahu apa yang terjadi selama setahun ini
di tempat ini. Setelah setahun yang lalu aku meninggalkan senja di pantai ini,
di pantai yang pelanginya tidak pernah memudar. Di sini aku menemui banyak
kegagalan. Kini, di tepi pantai kala malam yang dingin membalut tubuhku dan
nocturno membeku di jaketku,
aku mulai terkenang akan semua yang
pernah kualami di sini. Menatap ke arah teluk dimana berdiri mercusuar yang
tidak menarik perhatianku dua tahun yang lalu, ketika aku bertemu dengan Tara
Lestari di sini sehingga aku tidak sempat menjadikan mercusuar itu sebagai
saksi cintaku dengan gadisku waktu itu. Dan aku juga tidak sempat menjadikan
mercusuar sebagai saksi perpisahan kami setahun yang lalu.
Bagiku pantai ini tetap sama seperti
dahulu. Buih putih dan lidah ombak yang
terus menjilati bibir pantai dan suara camar yang tidak pernah menjadi
perhatianku. Dan pantai ini juga yang menyimpan banyak kenagan bagiku. Dan
pantai ini juga lah saksinya berserta senja yang semburat merah. Dalam
keheningan ini aku yang terkenang masa silamku selalu menyempatkan mengucapkan
namamu Tara Lestari. Aku selalu menghidupkan namamu beserta semua kenangan
bersamamu di memoriku. Tidak seperti kataku setahun yang lalu di sini kepadamu.
Tidak juga seperti janjiku kepadamu setahun yang lalu, saat senja semburat
merah di pantai ini. Saat kita akan berpisah di pantai ini aku memang berjanji
akan membuang semua kenangan ini. Tapi Tara aku mengingkari janjiku. Kenangan
itu pula yang
menghantarkanku kembali ke sini di mana
kamu tidak hadir. Walaupun sebenarnya kau sangat mengendaki kehadiran kamu,
tapi bagiku itu suatu kemustahilan untuk dapat menghadirkanmu di sini kecuali
bayangmu. Aku juga masih dapat melihat kamu melangkahkan kakimu dengan gontai
menyusuri bibir laut ketika kamu usai membuat putusan yang sangat memberatkan
bagiku dan bagimu juga.
“Kita memang harus berpisah Joel,”
itulah katamu mengakhiri semua ini.
Setelah itu kamu meninggalkanku sendiri
di sini di tepi pantai jauh dari karang yang ada di bibir pantai. Kamu
meninggalkanku di sini bersama berjuta kenangan bersamamu yang di redupaksa
oleh cinta tetua dan leluhurmu. Malam yang telah mendaki ke puncak kejayaan
malam tidak merubah dudukku. Aku menyadari nocturno itu menyapu dan membeku di jaketku.
Nocturno yang selalu menghadiri malam-malamku. Malam yang penuh dengan
kesunyian dan kesendirian. Kesunyian yang selalu ku takuti. Aku sangat mengharapkan
agar suatu ketika nanti kita mampu membalut nocturno ini bersama di dalam
keheningan jiwa. Samar kulihat nun jauh di sana, engkau kembali melangkahkan
kaki-kaki mungilmu menghindari lidah ombak yang semakin ganas menyapu pasir
putih di bibir pantai ini. Terkadang kamu melompat dan tertawa riang. Lalu kamu
berlari di bibir pantai menjauhiku
dengan tetap tersenyum dan tetap dengan
suara riang yang menggaum keseluruh sendi hidupku. Samar nun jauh di sana kala
aku menatap jauh ke sana ke tengah laut lepas aku mendengar suaramu menggodaku
untuk mendekatimu. Lalu mendekapmu dalam cinta seperti apa yang selalu ku janjikan
dulu.
" Aku masih mencintaimu Tara "