Indonesia adalah negara terdemokrasi ke-2 setelah U.S.A dan India. Tidak
salah apabila kita mengkritik kinerja pemerintah yang demokrasi ini, yang
melenceng dari nafas-nafas dan jiwa demokrasi itu sendiri. Pasalnya keadaan
negara tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan yang menyokong rakyat
untuk sejahtera . Rakyat miskin masih banyak yang kekurangan makanan dan
pelbagai hal seperti lapangan kerja tidak menyentuh dari angka-angka mengurangi
kemiskinan.
Kalau dilihat dari problematik diatas tentu harus ada sebuah “hero” seorang
hero yang mesti menyelamatkan rakyat. Kalau dipertanyakan lagi, individu
(rakyat) itu sendiri tidaklah mungkin karena persenjataan dan amunisi yang
tidak legkap, atau wakil rakyat? Tidak mungkin juga karena lebih banyak
menampung aspirasi dari pada melakukan tindakan. Lantas siapa yang harus
menjadi hero dalam kasus ini? Menimbang dan mengingat bahwa hero ini harus
berklarifikasi membela rakyat, idealis, merasakan amanat penderitaan rakyat dan
memiliki persenjataan dan amunisi ynag lengkap.
Mahasiswalah jawabannya-dalam artian disini penulis tidak membanggakan atau
berpendapat secara subyektif-karena mahasiswa memiliki klarifikasi yang
diharapkan. Mahasiswa kompeten karena sifat yang mengebu-ngebu pada pola pikir
kritis, skeptis, dan apriori. Dan sifat hero yang sempurna juga harus idealis
dengan sumpah setia membela rakyat, dan tentu saja sifat yang hanya dimiliki
oleh segelintir mahasiswa.
Kemabali kemasalah hero tadi, bahwa tidak semua mahasiswa yang mencap dirinya
yang memiliki sifat ini. Mungkin dalam satu universitas hanya ada hitungan jari
manusia yang ideal terhadap sifat tersebut. Lantas yang banyak apa? Yang banyak
adalah adalah orang-orang yang hipokrit bertindak kalau ada persenan, amplop
dan sikap cari muka atau demi kepopuleran. Betapa malunya apabila kita memiliki
persenjataan yang lengkap tapi tidak pandai menguraiknnya, rakyat sungguh
sangat bersyukur memilikinya tapi kita malah menyia-nyiakannya. Pada dasarnya
mahasiswa mempunyai malu dimana-mana selama pula dimana-mana juga rakyat hidp
dengan tidak normal. Rakyat sengsara adalah aib bagi mahasiswa, rakyat
ditelenjagi mahasiswa juga ditelenjangi, rakyat diperkosa hak-haknya, mahasiwa
juga diperkosa hak-haknya, bilamana air mata rakyat masih mengucur, tugas
mahasiswalah yang menghapusnya.
Memang ada dimana rakyat juga bisa menuntut hak-haknya, tapi yang nanti akan
menjadi resiko yang sangat besar, diamana rakyat digelorai sifat yang tidak
sabar dan terlalau agresif maka tindakan tersebut mungkin bisa menelan korban,
harta benda dan lainnya yang bisa menimbulkan anarkisme dan bentrok dan menjadi
chaos.
Disinalah sebenarnya peran mahasiswa sebagai hero, dalam artian idealis dan
benar-benar ingin tindakaan progresif dari pemerintah untuk rakyat. Kalau
mahasiswa bisa rasional dengan ilmunya maka aplikasinya pun bisa lebih baik
ketimbang rakyat yang sudah tersita waktunya. Mahasiswa tidak hanya harus
memikirkan nilai, tugas dsb Tapi dalam konteks ini mahasiswalah yang menjadi
dinamitator dan motivatornya. Yang jelas kalau bisa dilakukan dengan akal dan
pikiran yang sehat serta bukti yang analitis dan berpihak pada rakyat akan
memberi bentuk yang lebih konkret.
Disisi lain mahasiswa mesti asertif dan tanggap dengan ampera, ketimbang hidup
yang inividulais dan tidak humanis yang sebgaian besar dilakukan oleh mahasiswa
sekarang. Perlu diingat kembali bahwa Indonesia dan rakyatnya tidak akan pernah
manja, karena kebebasan dari bekas kolonialisme dengan pemberontak-pemberontak,
kritik, protes dsb. Tapi sekarang telah terjadi sebuah kotradiksi, mahasiswa
seakan terbuai dengan isme-isme yang masuk dan menghilangkan nafas-nafas
mhasiswa itu sendiri. Kalau mahsiswa terbuai oleh keapatisan, justru prospek
bangsa ini sudah jelas kemana mengalirnya seiring dengan berkurangnya frekuensi
iman seseorang menjadi kesuatu kategori “bejat”. Dunia boleh berubah tapi
mahasiswa juga bisa memfilter kedinamisan tersebut. Jangan sampai mahasiswa
disamakan stratanya layaknya orang tak reaksonis dan tanggap terhadap sekitar.
Kalau
kita flash back, para mahasiswa angkatan terdahulu bisa dibilang memilki
klarifikasi yang memuaskan seabagai hero, kita bisa lihat ada 4 angkatan
mahasiswa yang menjadi founded bangsa ini sebagai pondasinya. Ada
angkatan 28’ dengan cetusan ide sumpah pemudanya yang kaum tua Cuma merrespon
sisnis terhadapnya dan nyatanya akan menjadi embrio untuk kebebasan-kebebasan
berintelektual dan menjadi tonggak awal ke angkatan selanjutnya, angkatan 45’
dengan prolamasinya yang membebaskan kita datri cengkraman kolonial, angkatan
66’ yaitu tonggak perubahan dari Orla yang korup ke Orba-walaupun korup juga. Dan
yang terakhir adalah angkatan 98’ yang merubah situasi Orba ke Reformasi yang
ingin lepas dari pemerintah Soeharto dan penjilat-penjilatnya yang selfish.
Itulah para hero terdahulu yang dengan gebrakan besarnya yang membela dengan
fearness, keringat, darah dan tumbal nyawa manusia.
Lantas kita kembali ke
sakarang, dan nanti para mahasiswa akan dan pasti merasakan perubahan-perubahan
yang tidak relevan dengan nafas-nafas reformasi itu, dimana SDA yang sudah ada
di intervensi orang tidak bertanggungjawab lalu tidak pernah habis-habisnya
uang-uang rakyat yang dijarah, seyongyanya para mahasiswa lebih berpikir
presentis dengan kedinamisan ini. Terlalu berat tugas ini diemabn saja oleh
kelompok-kelompok independen lainnya, setidanya untuk gebarakan yang baru ini
diperlukan lebih banyak otak-otak yang berpikir dan disempurnakan dengan real.
Setidaknya
bagi yang mencap dirinya kritis dan mengatahui dan merasakan amanat penderitaan
rakyat lantas tidak diam saja dengan tindakan yang nol. Bahwa diam itu bukan
emas lagi dan kalau kita tetap diam dengan tindakan oleh oknum-oknum pejabat
yang yang timpang sebelah biarlah mereka siap untuk diinjak-injak kembali
HAMnya sampai akhir zaman, tapi apaibla mahasiswa yang mencap dirinya sebagai
penyambung lidah rakyat dan ingin sebuah bangsa dan rakyat yang perfeksionis
maka berikanlah tindakan dan gebrakan itu mulai dari detik ini, tanpa persenan,
ancaamn dan kepopuleran.
tulisan yang bagus..
BalasHapus